Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan pengembang dan pengamat properti meminta agar pemerintah memangkas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) agar sektor properti cepat bergerak.
Wakil Ketua Umum DPP REI Bambang Eka Jaya mengatakan BPHTB merupakan Pajak Asli Daerah (PAD). Sampai hari ini, lanjutnya, belum ada satu daerah pun yang menurunkan BPHTB meskipun Pajak Penghasilan (PPh) untuk rumah second sudah turun menjadi dari 5 persen menjadi 2,5 persen.
Terlebih, saat ini BPHTB dikaitkan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan harga NJOP yang tercantum bisa dua kali lipat dari harga pasar. Padahal, harga pasar sudah menurun.
"Penurunan BPHTB penting karena akan berdampak pada rumah primer dan sekunder," ujarnya kepada Bisnis pada Senin (12/4/2021).
Dia mencontohkan ada satu transaksi dalam kondisi normal, dua ruko di Jakarta Pusat memiliki nilai yang di atas Rp10 miliar. Kondisi properti yang tengah turun, ruko tersebut ditawarkan hanya Rp5 miliar. Akibat kondisi sekarang, transaksi yang terjadi untuk dua ruko hanya Rp2,5 miliar.
"Lalu apa yang terjadi? Ternyata mereka harus membayar baik PPh maupun BPHTB berdasarkan minimum NJOP-nya, dengan satu ruko di sana NJOP-nya lebih dari Rp5 miliar, artinya dua ruko Rp10 miliar," ucapnya.
Dengan transaksi yang senilai Rp2,5 miliar, lanjutnya, maka pajak yang ada BPHTB-nya Rp1 miliar. Dia menilai ini sangat tidak masuk akal karena nilai PPh dan BPHTB-nya dikaitkan NJOP yang sudah overvalue.
Menurut dia, pembebasan BPHTB ini memang membuat dilema karena merupakan pemasukan bagi daerah, tapi die menggarisbawahi bahwa pengaturannya sudah diatur dalam satu aturan kementerian, sehingga relaksasi BPHTB memungkinkan untuk mendorong pembelian properti," kata Bambang.
Ketua Umum DPP Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI) Lukas Bong menuturkan agar properti dapat menjadi komoditas investasi memang perlu ada relaksasi PPh 2,5 persen dan BPHTB.
"Yang perlu dievaluasi PPh 2,5 persen dan BPHTB 5 persen. Jadi, kalau ada investor masuk, dia membayar BPHTB 5 persen lalu saat dijual membayar 2,5 persen. Ini berat," tuturnya.
Dia mengusulkan agar BPHTB dapat dikurangi dan PPh dapat dikenakan pada saat margin keuntungan.
Lukas mencontohkan pada saat membeli properti Rp1 miliar dan dijual lagi seharga Rp1,5 miliar, PPh dapat dihitung, tetapi dari margin keuntungannya saja yang Rp500 juta.
"Ini usulan kami. BPHTB jika direlaksasi, kami percaya properti pasar sekunder akan bergulir dan dampaknya juga ke pasar primer," ujarnya.
Selain itu, dia yakin pengurangan BPHTB ini akan melengkapi stimulus kebijakan pemerintah yang ada. Pasalnya, dia menilai stimulus dan insentif yang telah ada saat ini belum lengkap dan masih setengah-setengah.
"Dengan pengurangan BPHTB, ini akan menjadi paket stimulus komplet dari stimulus yang sudah ada dan properti akan cepat pulih," tutur Lukas.
Sementara itu, CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda berpendapat BPHTB saat ini yang sebesar 5 persen menjadi beban biaya terbesar selain notaris, asuransi, sertifikat, dan lain-lain dalam pembelian properti.
Oleh karena itu, dia memandang perlu pengurangan BPHTB menjadi maksimal 2,5 persen dari saat ini 5 persen.
"Maunya sih 0 persen, tapi dari diskusi kayaknya berat, karena nanti PAD tidak ada sama sekali. Ya karena ini PAD memang pemda tidak berniat untuk mengurangi BPHTB," tuturnya.
Menurutnya, pengurangan BPHTB akan membuat pergerakan di pasar properti baik pasar primer dan pasar sekunder sangat besar.
"Multiplier effect dari transaksi di pasar sekunder membuat penjual berhasil menjual asetnya dapat melunasi utang keperluan lain sehingga ekonomi akan berputar," ucapnya.
Selain itu, dia berharap agar NJOP diturunkan, yang saat ini NJOP dinaikkan sangat tinggi karena pemda/pemprov mengejar PAD.
Ali memperkirakan dengan stimulus yang sudah ada dan ditambah adanya pengurangan biaya-biaya pajak dan BPHTB ini akan memberikan daya dorong yang sangat signifikan untuk dapat mengubah perilaku pasar konsumen untuk membeli properti sehingga dapat menggerakan sektor industri ini secara luar biasa.
"Jadi, pendorong properti ini adanya pengurangan BPHTB karena merupakan faktor beban pajak yang tinggi bagi masyarakat. Kalau PPN [Pajak Pertambahan Nilai] lebih ke pasar primer, dengan pengurangan BPHTB selain primer, juga signifikan untuk properti sekunder," ujarnya.