Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha mengatakan investasi baru di industri otomotif belum diperlukan sekalipun diplomasi pemerintah ke perusahaan prinsipal untuk memperluas ekspor berhasil dicapai.
Meski demikian, pemerintah diharapkan bisa menjamin kesiapan infrastruktur pendukung.
“Kalau untuk model dan tipe yang sama, investasi baru yang diperlukan tidak terlalu besar. Kapasitas produksi masing-masing merk pun masih mencukupi,” kata Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongkie D. Sugiarto, Minggu (11/4/2021).
Jongkie kembali menyebutkan bahwa perluasan ekspor otomotif yang diproduksi di dalam negeri tetap akan bergantung pada keputusan perusahaan prinsipal.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang telah bertemu dengan perwakilan perusahaan otomotif Jepang seperti Toyota, Suzuki, Mitsubishi, dan Honda dalam kunjungannya ke negara tersebut pada pertengahan Maret.
Kunjungan tersebut membuahkan komitmen berlanjutnya investasi dari Honda dengan nilai Rp5,2 triliun dan penambahan negara tujuan ekspor menjadi 31 destinasi.
Baca Juga
Indonesia juga mengunci komitmen Toyota untuk menambah investasi sebesar Rp28 triliun untuk penambahan kapasitas produksi. Perusahaan tersebut juga menargetkan dapat memperluas tujuan ekspor otomotif menjadi 100 negara sampai 2024.
“Jika tipe yang diproduksi Indonesia cocok, maka hanya tinggal menunggu perintah perusahaan prinsipal saja,” kata Jongkie.
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) Azis Pane mengatakan bertambahnya investasi pada industri otomotif secara langsung akan berdampak pada peningkatan kapasitas produksi ban. Hanya saja, Azis menyarankan agar pemerintah membenahi terlebih dahulu permasalahan pengapalan yang dihadapi para eksportir.
“Pemerintah bisa saja berambisi untuk naikkan ekspor, tetapi infrastruktur mendukung tidak? Apakah kapal dan kontainer ada?” kata Azis, Minggu (11/4/2021).
Azis mengatakan sejumlah perusahaan, termasuk beberapa pabrik otomotif, kesulitan mengirimkan produk ke luar negeri sekalipun permintaan berangsur pulih. Hal ini tidak lepas dari masih langkanya kontainer.
Guna menanggulangi masalah ini, Azis menyarankan agar pemerintah bisa memetakan produk apa saja yang bisa diimpor dari negara destinasi yang disasar untuk ekspor produk manufaktur Indonesia. Tanpa impor dari negara tujuan ekspor, aktivitas pengiriman akan sulit karena biaya pengapalan cenderung lebih tinggi.
“Pemerintah juga perlu dekati negara-negara yang menyediakan kapal atau kontainer dalam jumlah besar seperti Norwegia dan Jepang, lalu petakan barang-barang yang bisa kita impor dari tiap negara agar bisa kita ekspor balik produk kita,” kata Azis