Bisnis.com, JAKARTA – Skenario agresif yang disiapkan Kementerian Ketenagakerjaan mengenai pelaksanaan Program Jaminan Kehilangan diperkirakan berhadapan dengan kendala teknis.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan skenario agresif yang disusun pemerintah dengan menargetkan lebih dari 20 juta tenaga kerja terdaftar dalam program tersebut memerlukan pembenahan teknis agar dapat terealisasi.
Adapun, hal yang menjadi sorotan utama adalah rumitnya persyaratan pendaftaran yang justru berpotensi menjadi kendala utama.
Manfaat JKP dapat diajukan setelah peserta memiliki masa iur paling sedikit 12 bulan dalam 24 bulan dan telah membayar iuran paling singkat 6 bulan berturut-turut pada BPJS Ketenagakerjaan dinilai masih menyulitkan bagi pekerja untuk mengakses program tersebut.
Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan sampai dengan Februari 2021, terdapat 12.437.469 tenaga kerja yang terdaftar dengan total iuran lebih dari Rp208 miliar. Angka itu ditargetkan meningkat menjadi Rp339 miliar pada akhir tahun dengan total peserta lebih dari 20 juta orang.
Namun, permasalahan teknis yang dinilai masih ada di program JKP belum dibenahi hingga saat ini. Menurut Timboel, pemerintah mesti membuka ruang untuk melakukan kajian kembali PP No. 37/2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan untuk memudahkan kepesertaan.
"Menjelang pelaksanaannya pada Februari 2022, bisa enggak pemerintah mengkaji kembali PP No. 37/2021 sehingga pada saat pelaksanaannya bisa lebih mudah," ujar Timboel ketika dihubungi, Kamis (8/4/2021).
Dia menjelaskan ketatnya persyaratan yang berlaku masih menjadi hambatan dalam pelaksanaan program JKP. Dengan demikian, kata Timboel, hal tersebut dapat menyebabkan akses mendapatkan JKP menjadi sulit.
Dengan demikian, penegakan hukum serta kombinasi data yang baik antara Kemenaker, BPJS Ketenagakerjaan, dan BPJS Kesehatan menjadi kunci agar program JKP terlaksana dengan baik. Bahkan, dengan pelaksanaan yang baik pencapaian pemerintah bisa melebihi target pada tahun pertama.
"Pengawas ketenagakerjaan memiliki tugas untuk memastikan hal tersebut terealisasi. Kita harus tunggu kinerja Kemenaker dan BPJS dalam menyinkronkan data. Jangan hanya sekedar jargon," ujarnya.