Bisnis.com, JAKARTA – Konsolidasi fiskal akan semakin berat mengingat tidak adanya keseimbangan antara pendapatan dan belanja. Alhasil, wibawa pemerintah untuk menormalisasi defisit ke kisaran di bawah 3 persen dari PDB pada 2023 jadi taruhan.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam Tinjauan Ekonomi, Keuangan, & Fiskal Edisi I 2021 mengingatkan kepada pemerintah terkait dengan beratnya tantangan untuk mewujudkan konsolidasi fiskal.
Pada tahun ini, pemerintah menargetkan defisit di angka 5,7 persen terhadap PDB. Sementara itu, UU No. 2/2020 mengamanatkan agar defisit kembali berada di bawah 3 persen terhadap PDB pada 2023.
“Penundaan konsolidasi fiskal akan berpotensi melanggar konstitusi dan menurunkan wibawa dan kredibilitas pemerintah,” tulis laporan BKF yang dikutip Bisnis, Senin (5/4/2021).
Persoalannya, upaya mengejar target sesuai dengan UU No. 2/2020 terbilang sulit. BKF mencatat, dalam 3 tahun terakhir rasio pendapatan terhadap PDB terus merosot, sementara rasio belanja mencatatkan kenaikan. Adapun dalam 10 tahun terakhir, pertumbuhan pendapatan hanya 8,1 persen, sedangkan belanja 9,42 persen.
Pendapatan yang lemah berdampak pada terbatasnya stimulus. Adapun pertumbuhan belanja yang lebih besar dibandingkan dengan pendapatan menyebabkan meningkatnya risiko fiskal.
Baca Juga
Dalam jangka panjang, terbatasnya stimulus dan meningkatnya risiko fiskal berujung pada terganggunya keberlangsungan fiskal.
“Jika hanya mengandalkan belanja negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tidak akan bisa efektif, apalagi peran belanja dalam 10 tahun terakhir terus menunjukkan pelemahan,” tulis BKF.
Selain itu, konsolidasi fiskal menghadapi empat tantangan. Pertama masih berlangsungnya pandemi Covid-19 dan proses pemulihan, kedua ketidakpastian perekonomian global dan domestik.
Ketiga reformasi struktural pascapandemi untuk penguatan daya saing dan peningkatan kapasitas produksi, serta keempat isu lingkungan dan pergeseran aktivitas ekonomi berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Mengacu pada data tersebut, BKF merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan reformasi fiskal, baik dari sisi pendapatan, belanja, maupun pembiayaan.
Reformasi perpajakan dilakukan dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan. Adapun, belanja perlu diarahkan pada penguatan spending better.
Tekad Pemerintah
Sementara itu, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata menegaskan pemerintah sejauh ini masih mengacu pada UU No. 2/2020. Artinya, otoritas fiskal belum berencana memperpanjang batasan defisit yang ditargetkan.
“Sampai saat ini pemerintah berkomitmen dan berupaya sungguh-sungguh untuk memenuhi UU 2/2020, yaitu mengembalikan defisit di bawah 3 persen dari PDB pada 2023. Upaya yang berat harus dipikul bersama oleh seluruh komponen bangsa. Optimisme harus kita jaga bersama,” jelasnya.
Sri Mulyani menyakini ada tiga sektor yang dapat menjaga defisit APBN berada pada jalurnya pada 2023.
“Pemulihan hanya bisa terjaga yang didukung oleh investasi, ekspor, dan keyakinan konsumen. Itu juga sangat bergantung pada dukungan belanja pemerintah,” katanya pada diskusi virtual, Rabu (24/3/2021).
Tiga sektor tersebut, terang Sri Mulyani, akan menjadi mesin penggerak ekonomi. Dengan begitu, APBN 2021 tidak akan bekerja sangat keras seperti tahun lalu. Akan tetapi, dia menegaskan dukungan negara melalui belanja pemerintah tetap ada.
“Pastinya 2022 defisit APBN lebih rendah dari tahun ini [yang ditarget 5,7 persen]. Kita pasti akan terus melakukan konsolidasi dan membawa defisit hingga di bawah 3 persen pada 2023,” ucapnya.