Bisnis.com, JAKARTA – Tren utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia cenderung meningkat selama 5 sampai 6 tahun terakhir. Peningkatan utang terjadi di BUMN lembaga keuangan maupun non-keuangan.
Ekonom Intitute of Development for Economics and Finance (Indef) Deniey A. Purwanto melihat tren utang BUMN meningkat drastis sejak 2016.
Berdasarkan data Statistik Utang Sektor Publik Indonesia (SUSPI) Bank Indonesia yang diolahnya, utang BUMN Indonesia per kuartal III/2020 mencapai Rp2.140 triliun.
Dilihat dari jatuh temponya, sejak 2018 utang BUMN lembaga non-keuangan meningkat lebih pesat dari lembaga keuangan, mencapai Rp996,49 triliun per kuartal III/2020. BUMN keuangan lebih didominasi oleh utang jangka pendek. Namun, untuk BUMN non-keuangan didominasi utang jangka panjang.
Namun, menurut Deniey utang yang dimiliki tidak berbanding lurus dengan kinerja BUMN. “Argumennya, bahwa utang bisa mendukung kinerja yang lebih baik, maka sebenarnya utang punya dampak yang positif tidak hanya negatif terkait risiko dan segala macam,” katanya dalam diskusi publik bertajuk ‘Kinerja BUMN dan Tumpukan Utang’ oleh Indef, Rabu (24/3/2021).
Dari 2016-2019, untuk kelompok BUMN dengan laba rata-rata di atas Rp5 triliun, empat BUMN mengalami tren penurunan seperti pengadaan listirk dan gas, pertambangan dan penggalian, konstruksi dan perumahan, serta industri pengolahan. Sedangkan, untuk laba rata-rata di bawah Rp5 triliun, pertanian dan perdagangan besar-eceran mengalami tren penurunan.
Baca Juga
Deniey lalu menyebut beberapa BUMN memang menunjukkan indikator terkena dampak pandemi Covid-19 terutama sektor transportasi seperti KAI dan Garuda. Namun, dia tak menampik bahwa sebelum pandemi melanda, banyak dari BUMN yang memiliki rapor merah terutama di sisi tingkat pengembalian terhadap modal atau ekuitas.
“Kita bisa lihat di return on equity ya, tingkat pengembalian terhadap modal, sebagian besar tingkat pengembaliannya sangat kecil bahkan beberapa negatif,” jelas Deniey.
Jika dilihat dari sisi tingkat kinerja pengembalian terhadap aset, Deniey menyebut hanya beberapa yang digolongkan cukup baik atau di atas 5 persen, namun sisanya minus atau di bawah 5 persen.
Menurutnya, sebelum pandemi Covid-19, beberapa BUMN sudah mengalami kerugian jika merujuk pada profit margin yang negatif. Terutama, pada bidang pertanian, perdagangan besar, dan akomodasi makanan-minuman.
Terkait tingkat solvabilitas atas pembayaran utang, menurutnya sebagian besar persentase debt to asset perusahaan BUMN sudah mendekati batas wajar atau aman untuk menambah utang. Beberapa BUMN di 2019 tercatat sudah mencapai di atas 60 persen. Seperti, industri pengolahan, konstruksi, perdagangan besar, transportasi dan pergudangan, dan perbankan.
“Secara rata-rata bisa dilihat memang sudah mencapai batas wajar atau aman untuk menambah utang. Jadi, harusnya kebijakan yang diupayakan bagaimana untuk meminimalisasi utang ke depan,” pungkasnya.