Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Intitute of Development for Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini membandingkan utang Indonesia pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo.
Di akhir masa jabatannya, SBY meninggalkan utang pemerintah sekitar Rp2.700 trilun dan utang BUMN sebesar Rp500 triliun.
Sementara itu, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia mencapai Rp 6.361 triliun per akhir Februari 2021, naik 2,05 persen atau Rp128 triliun dari periode Januari 2021.
Didik mengatakan utang pemerintah tersebut jika ditambah dengan utang BUMN totalnya menjadi sekitar Rp 8.500 triliun. Dia memperkirakan total utang pemerintah dan BUMN ini bisa mencapai Rp10.000 triliun pada akhir kepemimpinan Jokowi.
“Ini belum selesai pemerintahannya, nanti kalau sudah selesai pemerintahannya bisa diperkirakan sampai Rp10.000 triliun. Utang APBN dengan BUMN. Ini meningkat semakin pesat,” jelas Didik dalam diskusi publik bertajuk ‘Kinerja BUMN dan Tumpukan Utang’ oleh Indef, Rabu (24/3/2021).
Didik mengungkapkan salah satu solusi untuk menghambat pengeluaran utang adalah mengunci pengeluaran besar infrastruktur besar, terlebih di masa krisis seperti saat ini.
Baca Juga
Di lain sisi, dia mengingatkan penumpukan utang juga dianggap bisa memberikan dampak negatif terhadap generasi produktif berikutnya.
Sementara itu, Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Intitute of Development for Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian memperkirakan utang Indonesia sekarang akan berdampak pada generasi mendatang, khususnya generasi milenial.
Menurut Dzulfian, utang jangka panjang Indonesia, baik publik maupun swasta, berpotensi besar memengaruhi kehidupan generasi berikutnya.
Berdasarkan data CEIC yang diolahnya, utang publik dan swasta sama-sama meningkat sejak era kepresidenan Jokowi. Swasta bahkan lebih gemar berutang dengan tenor jangka panjang, sedangkan utang jangka pendek relatif stabil.
Selain itu, swasta cenderung memilih utang dalam mata uang asing, sedangkan publik cenderung memilih domestik. Menurut Dzulfian hal tersebut disebabkan kebijakan pemerintah yang lebih populis.
“Utang dalam negeri lebih diterima masyarakat secara politis, kalau berbau asing agak reluctant. Padahal, utang dalam negeri itu bunganya lebih mahal, akhirnya kebijakan populis, namun merugikan negara,” jelasnya.