Bisnis.com, JAKARTA - Ajakan Presiden Joko Widodo yang mengajak untuk membenci produk asing harus diperjelas dengan batasan yang tegas.
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finace (Indef) Berly Martawardaya mengatakan bahwa negara di Asia contohnya Korea Selatan, memiliki impor yang cukup tinggi pada 2019. Dengan total sekitar US$620 miliar sepanjang tahun, itu tidak membuatnya miskin.
Kondisi ini bisa terjadi karena nilai impornya berbanding lurus dengan ekspornya.
“Malaysia banyak impor mesin dan bahan manufaktur. Tapi eskpor manufakturnya lebih banyak lagi. Penyebabnya Malaysia jadi salah satu titik global chain salah satu perusahaan otomotif besar asal Jepang,” katanya melalui diskusi virtual, Selasa (9/3/2021).
Hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Berly menjelaskan bahwa pada 2018 nilai impor Indonesia berada di bawah Thailand, Myanmar, dan Vietnam. Akan tetapi dari sisi neraca dagang, Tanah Air paling sering negatif mulai dari tahun 1990.
Di sisi lain, rasio ekspor ke produk domestik bruto (PDB) Indonesia sangat rendah. Barang-barang yang dikirim ke luar mayoritas produk teknologi murah dan minim nilai tambah dengan persentase di bawah 40 persen.
Baca Juga
Sementara itu, ekspor Indonesia kebanyakan hasil tambang dan impornya produk olahan atau manufaktur. Berdasarkan data tersebut, Ekonomi Indonesia relatif tertutup dan kecil rasio perdagangan terhadap PDB.
Oleh karena itu, langkah ke depannya daripada membenci produk asing, Berly menyarankan agar pemerintah mengurangi barang-barang yang bersifat konsumtif seperti jam, sepatu, dan tas.
“Tapi jangan yang dibenci impor bahan modal dan bahan baku. Karena itu dibutuhkan. Kalau dihentikan, industri dalam negeri yang terganggu,” jelasnya.
Lalu, impor yang memperkuat rantai produksi sehingga bisa mengirim lebih banyak ke luar. Oleh karena itu, investasi yang masuk harus berorientasi pada ekspor.
Selanjutnya, iklim bisnis harus bagus dan korupsi harus ditekan. Terakhir, kembangkan zona memproduksi barang ekspor dengan tanpa tarif.