Bisnis.com, JAKARTA — Sebagai perusahaan pertambangan batu bara, PT Bukit Asam Tbk. bakal bertransformasi untuk tidak lagi bergantung pada komoditas tersebut. Pasalnya, perubahan zaman dan tren konsumsi energi fosil yang kian melemah memaksa perseroan harus banting setir.
Direktur Transformasi Bisnis MIND ID Suryo Eko Hadianto mengatakan bahwa energi batu bara memiliki masa depan yang tidak lagi cerah, bahkan industri batu bara sudah berada di ujung kondisi yang disebut sunset industry.
MIND ID merupakan holding BUMN tambang yang menaungi lima perusahaan yakni PT Aneka Tambang Tbk., PT Bukit Asam Tbk., PT Freeport Indonesia, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), dan PT Timah Tbk.
Dia mengungkapkan bahwa permintaan energi global sejak 2019 hingga 2050 mendatang untuk energi berbasis batu bara sudah sangat terlihat tren penurunannya. Di sisi lain, tren kenaikan permintaan energi baru dan terbarukan menunjukan tren yang meningkat secara signifikan.
"Hal ini juga diperlihatkan terkait Paris Agreement, ini hampir semua menekan bisnis batu bara. Pembiayaan untuk pengembangan batu bara makin sulit, pasar makin menyempit, pasar dunia karena kesadaran lingkungan. Untuk itu, Bukit Asam telah menyiapkan peta jalan hingga 2035 untuk menyiapkan transisi energi. ," ujarnya dalam webinar Bimasena Energy Dialogue 4, Jumat (19/03/2021).
Paris Agreement merupakan perjanjian dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan.
Suryo mengatakan bahwa pada 2020 hingga 2025, PTBA akan mengokohkan fondasinya dengan memperluas kapasitas logistik batu bara, memperluas pembangkit listrik tenaga uap dari mulut tambang, membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), mengakuisisi pembangkit listrik dari PLN, IPP, dan lainnya, serta membuka pabrik gasifikasi batu bara yang pertama.
Dia menambahkan bahwa Bukit Asam (PTBA) juga akan meluncurkan program manajemen karbon, membentuk kemitraan dan mulai konstruksi proyek batu bara menjadi produk kimia, transformasi biaya, dan berkolaborasi dengan Mining and Minerals Industry Institute (MMII) untuk riset dan pengembangan untuk menciptakan bisnis kimia masa depan.
"PTBA memiliki visi menjadi perusahaan energi dan kimia," ungkapnya.
Lebih lanjut, pada fase kedua, yakni pada 2025 hingga 2035, PTBA akan memperluas pembangkit listrik tenaga uapa (PLTU) dari mulu tambang dan pembangkit listrik lainnya dan juga memperluas pembangkit listrik tenaga surya skala besar.
Dia menuturkan PTBA memiliki potensi lahan seluas 99.000 hekatare untuk dijadikan lahan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Pada saat ini, baru sekitar 9.000 ha lahan bekas tambang yang telah dibuka.
PTBA akan meluncurkan dan meningkatkan gelombang bisnis batu bara menjadi kimia tahap lanjut dan meningkatkan program manajemen karbon, serta kawasan industri Bukit Asam berbasis batu bara untuk tumb dan menjadi hub bagi industri.
"Pengembangan MMII dan Inalum mengembangkan PLTS apung di Danau Toba yang mana itu kalau berhasil karena bekas tambang berupa danau kecil atau sebuah lubang yang terisi air bisa digunakan untuk PLTS apung," jelasnya.
Dalam fase selanjutnya, pada 2035 PTBA memiliki visi menjadi pemimpin pasar pembangkit listrik baik pada batu bara maupun energi baru dan terbarukan, termasuk menjadi pemasok listrik untuk MIND ID. Di samping itu, perseroan menargetkan menjadi salah satu pemain bahan kimia terbesar di regional dan menjadi pemimpin program manajemen karbon.
"Mengingat industri batu bara memasuki masa sunset, sementara cadangan masih cukup banyak, yang kami khawatirkan kalau ini salah treatment, batu bara menjadi barang yang tidak termanfaatkan sama sekali," ungkapnya.