Bisnis.com, JAKARTA — Seiring dengan tingkat kepedulian masyarakat global tentang perubahan iklim, konsumsi energi yang kurang ramah lingkungan akan semakin ditinggalkan pada masa depan. Hal itu diproyeksikan berdampak terhadap masa depan batu bara.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa konsumsi batu bara telah mengalami puncaknya pada 2014. Setelah itu, konsumsi batu bara secara global diproyeksikan bakal terus merosot.
Pada skenario terburuk, seiring dengan penurunan suhu di muka bumi sebesar 1,5 persen, konsumsi batu bara bahkan bisa dikurangi sebesar 90 persen pada 2050.
"Angka-angka ini adalah acuan atau gambaran yang dipegang dunia saat ini. Secara umum pada 2050 dunia akan menurunkan permintaan batu bara 40 persen dari pada saat ini. Inilah realita yang dihadapi yang membuat kita membuat skenario pemanfaatan batu bara ke depan," katanya dalam webinar Bimasena Energy Dialogue 4, Jumat (19/03/2021).
Pada 2020, produksi batu bara dalam negeri mencatatkan realisasi yang melebihi target yakni 560 juta ton dari target 550 juta ton atau sekitar 102 persen. Dari jumlah itu, konsumsi dalam negeri sebesar 132 juta ton, masih di bawah target sebesar 155 juta ton atau sekitar 85 persen.
Pada tahun ini, pemerintah mematok target produksi batu bara sebesar 550 juta ton dengan target pemanfaatan batu bara domestik 137,5 juta ton. "Sebagian besar untuk listrik PLN dan mitra-mitranya sehingga dinamika ini akan kita antispasi juga," jelasnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan bahwa komoditas batu bara masih memiliki tempat yang strategis, terutama untuk negara-negara berkembang. Alasannya, tidak dapat dipungkiri apabila batu bara masih menjadi bahan bakar yang paling ekonomis.
Menurut dia, untuk pasar global, India dan China masih menjadi konsumen terbesar batu bara dari Indonesia dengan porsi sebesar 55 persen.
Sementara itu, kawasan Asia Timur menyerap sebesar 20 persen dari total batu bara Indonesia yang diekspor. "Kalau kita lihat pembangunan ekonomi negara berkembang pasti pembangunan ekonominya menggunakan energi termurah, Asia Tenggara, negara berkembang pasti menggunakan energi efisien, negara Asia Timur seperti Jepang masih mengandalkan 60 persen dari batu bara," ungkapnya.
Untuk pasar domestik, lanjut Hendra, konsumsi batu bara diproyeksikan masih sangat bergairah seiring dengan pembangunan smelter yang terus digaungkan oleh pemerintah.
"Kita masih punya peluang ini 30 tahun hingga 40 tahun, tinggal nanti kebijakan pemerintah mengaturnya seperti apa. Kalau punya peluang sayang tidak dimanfaatin," ujarnya.