Bisnis.com, JAKARTA - Rumah merupakan tempat penting bagi banyak orang. Oleh sebab itu, seyogyanya pembangunan dan pengelolaan rumah perlu dilakukan dengan baik. Namun demikian di lapangan ada banyak kendala atau masalah dan komplain yang diajukan oleh konsumen di sektor perumahan ini.
Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (Aperssi) Ibnu Tadji mengatakan permasalahan dalam sektor perumahan, khususnya rumah susun milik umum maupun komersial terjadi dari pra pembangunan hingga periode penghunian.
“Oleh karenanya itu, kami juga mendengar dan melihat langsung ada banyak laporan pengaduan atau konsumen terkait berbagai hal di sektor perumahan ini,” katanya kepada Bisnis.com, Sabtu (13/3/2021).
Dia menuturkan masalah pertama yang ditemui dan seringkali dilaporkan oleh konsumen adalah perihal tanah bersama. Masalahnya, pemerintah tidak mewajibkan sertifikat atas rumah susun berada di bawah kepemilikan pelaku pembangun, tapi bisa atas nama pihak lain yang dikerjasamakan dengan pengembang. Jadi, ketika ada permasalahan antara pengembang dan stakeholder terkait, konsumen juga ikut menjadi korban.
Masalah kedua yang selalu dikeluhkan masyarakat, lanjutnya, ialah terkait perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) yang sering tidak berimbang dan lebih condong pada pihak pembangun rumah susun. Masalahnya lagi, kebanyakan pengembang tidak mau PPJB-nya dikerjakan oleh notaris sehingga memperlemah posisi konsumen.
Masalah ketiga terjadi ketika akan serah terima pembangunan yang tidak diawasi. Hal ini menyebabkan misinformasi terkait penghuni dan pengembang. Keempat, pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) yang juga tidak difasilitasi oleh pelaku pembangunan.
Baca Juga
Persoalan kelima yang juga banyak dikeluhkan oleh penghuni ialah pada masa periode penghunian, di mana kualitas unit, fasilitas umum, dan fasilitas sosial yang tidak baik. Persoalan listrik, air, hingga keamanan tak luput menjadi persoalan yang muncul.
“Ada banyak sekali sebetulnya permasalahan yang timbul, baik itu dari sisi pengembang yang tidak menjalankan pembangunan dan aturan dengan baik atau dari sisi pemerintah juga yang peraturannya kurang tegas serta implementasinya masih minim,” katanya.
Secara umum, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia setiap tahunnya juga menerima aduan konsumen terkait sektor properti atau perumahan. Bahkan, setiap tahun pula sektor ini masuk dalam lima besar sektor yang paling banyak diadukan.
Berdasarkan catatan Bisnis.com, YLKI mencatatkan aduan sektor perumahan secara berurutan adalah sebagai berikut, 160 kasus pada 2015, 53 kasus pada 2016, 57 kasus pada 2017, 98 kasus pada 2018, 81 kasus pada 2019, dan 23 kasus pada 2020.
Pada tahun lalu, lembaga itu mencatatkan kasus pembangunan mangkrak merupakan laporan yang paling banyak masuk. Diikuti dengan persoalan pengembalian dana (refund), serah terima, pelaku usaha pailit, dokumen, fasilitas umum dan fasilitas sosial, serta sistem pembayaran.
Sementara itu, berdasarkan data dari Badan Pengaduan Konsumen Nasional (BPKN), sektor perumahan juga merupakan yang tertinggi paling banyak diadukan sepanjang 2017 hingga Februari 2021, dengan persentase 61 persen dari seluruh aduan yang masuk. Totalnya mencapai 524 pengaduan dengan pemerincian 226 kasus dalam proses dan 298 kasus selesai.
Ketua Komisi Penelitian dan Pengembangan BPKN Arief Safari mengatakan bahwa aduan konsumen yang masuk terkait sektor perumahan secara umum memang datang dari berbagai tahapan, baik itu pra pembangunan, ketika pembangunan, transaksi, dan pasca transaksi atau ketika telah menempati perumahan.
Menurutnya, salah satu aduan yang paling sering masuk ialah yang terkait persoalan dokumen baik itu sertifikat tanah, PPJB, atau AJB. Hal tersebut ada yang terjadi karena ketidaktahuan konsumen atau karena memang pengembangan yang bermasalah.
Selain itu, laporan terkait fasilitas yang ada di perumahan seperti listrik dan air juga banyak yang dikeluhkan, ada yang ditujukan pada pengelola perumahan misalnya terkait kebocoran air atau ditujukan kepada lembaga seperti PLN karena peningkatan tagihan yang signifikan.
Arief menuturkan bahwa selain menerima pengaduan, BPKN juga telah mencoba mempertemukan pihak-pihak yang sengketa. Konsumen, pengembang atau pengelola, dan lembaga atau kementerian terkait dijembatani untuk menyelesaikan persoalan.
Ketika dipanggil untuk berkoordinasi, baik pihak pengembang atau pengelola perumahan dinilai cukup kooperatif dalam memberikan respons, tanggapan, dan tindakan atas pelaporan yang dituduhkan.
“Memang perlu difasilitasi antara pihak-pihak terkait ini, karena biasanya ada gap kalau langsung dari konsumen ke pengembang misalnya. Pemerintah juga perlu terus mengawasi dan mengawal aduan yang masuk dari masyarakat,” katanya kepada Bisnis.
Adapun, Ibnu berpendapat bahwa belum banyak pelaku pembangunan atau pengelola properti yang benar-benar memberikan respons pengaduan atau keluhan dan menjalankan peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Apalagi terhadap rumah susun yang belum diserahterimakan secara menyeluruh oleh pengembang, artinya mereka masih mengelola berbagai hal di ranah propertinya. Dalam kasus seperti ini, lanjutnya, kebanyakan pengembang hanya fokus pada masalah ekonomi saja bukan pada kesejahteraan penghuninya.
Dia berharap pemerintah pusat hingga pemerintah daerah bisa mengimplementasikan peraturan yang ada dengan tegas dan melakukan pengawasan penuh terhadap keberjalanan aktivitas di sektor perumahan secara umum, sehingga tidak ada pengembang nakal yang melakukan tindakan semaunya. Dengan begitu, hak-hak konsumen sektor properti atau perumahan bisa lebih terjamin.