Bisnis.com, JAKARTA — Keberadaan teknologi penyimpanan energi atau energy storage system sangat diperlukan untuk mendukung terwujudnya transisi energi di Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa dalam peta jalan transisi energi global, lebih dari 50 persen teknologi pembangkit listrik energi terbarukan (ET) yang digunakan adalah pembangkit listrik tenaga surya dan bayu atau angin.
Demikian pula di Indonesia. Menurut kajian IESR, untuk berada pada jalur transisi energi, Indonesia harus menambah kapasitas pembangkit ET sebesar 15—20 gigawatt per tahun. Paling tidak 51 persen dari kapasitas pembangkit tersebut adalah berasal dari energi surya dan angin (PLTS dan PLTB).
"Dengan kondisi ini, maka energy storage, baik itu yang utility scale maupun small scale itu sangat diperlukan. Kalau kita punya visi transisi energi memang dengan perkembangan teknologi hari ini, ke depan kita butuh energy storage system," ujar Fabby dalam webinar 'Indonesia at the Forefront of the Battery and Storage Revolution', Senin (8/3/2020).
Hal ini disebabkan PLTS dan PLTB bersifat intermiten sehingga ketika energi yang dihasilkan dari pembangkit tersebut sedang tidak dipakai bisa disimpan di dalam ESS dan dapat digunakan ketika diperlukan. ESS diperlukan untuk menjaga kestabilan dan keandalan sistem ketenagalistrikan.
ESS terdiri atas beberapa jenis berdasarkan mekanisme penyimpanan energinya, salah satunya adalah pumped hydroelectric energy storage (PHES) dan battery storage. Saat ini, PHES masih mendominasi kapasitas terpasang teknologi penyimpanan energi secara global karena harganya relatif lebih kompetitif.
Indonesia tengah gencar mendorong pengembangan baterai litium ion yang juga bisa digunakan sebagai ESS. Fabby menuturkan bahwa harga teknologi baterai litium ion saat ini juga sudah semakin turun.
Secara global, harga teknologi surya, angin, dan battery storage telah mengalami penurunan. Menurut Fabby, dalam 10 tahun terakhir harga teknologi surya dan baterai telah turun 89 persen, sedangkan teknologi angin turun 59 persen.
"Oleh karena itu, kombinasi dari baterai dengan surya dan angin itu diharapkan bisa menjadi solusi yang andal dan cost effective," katanya.