Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Lamon Rutten

CEO Indonesia Commodity & Derivatives Exchange

Lihat artikel saya lainnya

Perdagangan Kredit Karbon dan Ekonomi Hijau RI

Untuk mempercepat tindakan penanganan pemanasan global, kita tidak bisa hanya bergantung pada hasil pajak pemerintah, subsidi dan lembaga lingkungan.
Energi terbarukan/Istimewa
Energi terbarukan/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Meskipun taraf kehidupan telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir, model pertumbuhan kita saat ini tidak berkelanjutan. Kita bergerak menuju bencana iklim. Cuaca ekstrim menjadi hal yang biasa. Pemanasan global tersebut adalah hasil tindakan kita sendiri.

Semakin lama kita menunda penanggulangannya, semakin mahal solusi atas permasalahan ini. Aktivitas kita banyak menghasilkan gas rumah kaca ke atmosfer. Gas-gas ini menyerap energi dari cahaya matahari dan membuat atmosfer menjadi lebih panas, sehingga suhu bumi ikut naik.

Gas rumah kaca paling banyak terdiri dari karbon dioksida (CO2). Dampak dari tingginya emisi CO2 antara lain cuaca yang tak menentu dan suhu panas yang merusak hasil tani. Amerika Serikat mencatatkan biaya tahunan yang harus dikeluarkan akibat cuaca ekstrem dari 2017—2019 mencapai tak kurang dari US$153,5 miliar.

Para pemimpin dunia telah menyadari dampak signifikan ini terhadap perekonomian. Melalui Perjanjian Paris 2015, seluruh dunia berkomitmen untuk menekan emisi karbon pada 2030 hingga di bawah 45 persen dari tingkat emisi 2010 serta menekan angka tersebut hingga 0 persen pada 2050.

Namun, penerapan komitmen tersebut saat ini belum cukup untuk beradaptasi dengan kecepatan pemanasan global. Untuk mempercepat tindakan penanganan pemanasan global, kita tidak bisa hanya bergantung pada hasil pajak pemerintah, subsidi dan lembaga lingkungan.

Kita perlu menggunakan biaya dengan lebih efektif. Perusahaan swasta dan masyarakat bisa memainkan peran penting dalam mencapai target pengurangan emisi karbon tersebut, bahkan bisa berpengaruh lebih besar dengan biaya yang sama.

Intervensi pemerintah dalam pasar sangat dibutuhkan mengingat emisi karbon yang berlebihan belum dapat diterjemahkan menjadi barang atau layanan yang memiliki nilai ekonomis.

Kabar baiknya, sudah muncul kebijakan-kebijakan yang memanfaatkan pasar sebagai cara yang efektif untuk mencapai target perubahan iklim. Dalam hal ini salah satunya melalui perdagangan karbon.

Selama dekade terakhir, harga tertinggi karbon mencapai US$168 di Swedia dan terendah US$1 di pasar-pasar lain. Harga karbon dalam pasar Uni Eropa (perdagangan karbon tunggal terbesar) sudah mencapai sekitar US$30.

Dalam perdagangan karbon ini, pemerintah akan memberlakukan aturan batasan emisi karbon berupa kredit karbon (satuan yang digunakan untuk menyebutkan emisi karbon menjadi komoditas dengan kuantitas terukur). Jumlah emisi yang dihasilkan harus di bawah jumlah kredit karbon yang dimiliki.

Jika melebihi maka perusahaan harus membeli kredit karbon dari pihak lain yang masih memiliki kredit karbon. Dengan demikian, pemerintah dapat mengawasi total emisi yang dihasilkan setiap tahunnya. Kredit karbon akan menjadi komoditas masa depan yang sangat strategis dan berkelanjutan.

Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dalam proyek ramah lingkungan untuk menjadi pemasok utama kredit karbon ke negara lain, sehingga mereka dapat mencapai target iklimnya. Karbon kredit ini berasal dari hutan mangrove, lahan gambut, padang lamun dan batu karang.

Dilihat dari nilainya, potensi perdagangan karbon mampu menyumbang lebih dari US$150 miliar untuk ekonomi Indonesia saja. Strategi Indonesia dalam memerangi perubahan iklim saat ini fokus pada dua sektor penting, yakni pembangkit listrik dan kehutanan.

Permintaan listrik diperkirakan bakal meningkat dengan cepat dengan keinginan mengurangi kesenjangan akses listrik di Indonesia. Untuk menjaga jumlah emisi karbon dari pembangkit listrik tetap terkendali, Indonesia berencana memperkenalkan sistem cap and trade, di mana perusahaan listrik yang menghasilkan listrik secara lebih efisien (minim emisi) akan memperoleh keuntungan finansial.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengeluarkan laporan berjudul Pembangunan Rendah Karbon: Perubahan Paradigma Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia pada Maret 2019 yang mengungkapkan bahwa produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan meningkat menjadi 6 persen per tahun hingga 2045 melalui mekanisme rendah karbon.

Mekanisme rendah karbon juga dapat mengurangi emisi sebesar 43 persen pada 2030, lebih tinggi dari yang dijanjikan Indonesia dalam Perjanjian Paris dan dapat menjadi pendapatan ekspor baru bagi Indonesia.

Apabila Indonesia dapat melaksanakan mekanisme perdagangan karbon yang terintegrasi dan terkontrol melalui sarana perdagangan yang terorganisasi seperti bursa komoditas, tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menuju ekonomi hijau lebih cepat daripada yang direncanakan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper