Bisnis.com, JAKARTA - Tahun lalu, China mencatatkan rekor jumlah perusahaan yang gagal bayar. Tren itu tampaknya akan berlanjut pada tahun ini karena pemerintah mencoba memperketat kredit dan menarik kembali stimulus.
Tekanan tersebut tidak didistribusikan secara merata di seluruh negeri. Menurut analisis Bloomberg dari semua obligasi korporasi yang diterbitkan di China, perusahaan di Provinsi Liaoning, Qinghai dan Henan menghadapi kesulitan paling besar dalam mengumpulkan dana saat ini,
Data menunjukkan bahwa perusahaan di ketiga wilayah tersebut menerbitkan obligasi baru yang nilainya kurang dari 30 persen dari total utang yang jatuh tempo dalam tiga bulan terakhir.
Perusahaan di provinsi lain seperti Anhui dan Zhejiang berada dalam posisi yang jauh lebih baik, masing-masing menerbitkan obligasi 251 persen dan 171 persen lebih banyak daripada utang yang jatuh tempo. Rasionya adalah 116 persen secara nasional pada Januari.
Variasi yang luas antarprovinsi menyoroti aspek lain dari pemulihan China yang tidak seimbang, dengan provinsi timur yang lebih kaya berkembang pesat tetapi area lain seperti kawasan timur laut ditinggalkan.
Provinsi-provinsi tersebut cenderung memiliki keuangan daerah yang lebih lemah sehingga mengurangi kemampuan menopang perusahaan baik swasta maupun pelat merah yang tengah bermasalah.
Baca Juga
"Rekam jejak dukungan pemerintah provinsi kepada perusahaan milik negara setempat dan perusahaan lain akan penting untuk dilihat ketika mengevaluasi risiko kredit provinsi,” kata Chuanyi Zhou, analis kredit di Lucror Analytics di Singapura, dilansir Bloomberg, Kamis (4/2/2021).
Sebagai pusat basis industri China, provinsi Liaoning telah lama bermasalah dengan ekonomi yang lemah. Menurut regulator perbankan, hampir 4,8 persen pinjaman digolongkan sebagai kredit macet pada akhir kuartal pertama 2019, dibandingkan dengan 1,8 persen pinjaman nasional pada saat itu.
Brilliance Auto Group Holdings Co., sebuah perusahaan besar milik negara, gagal bayar pada November, meningkatkan kekhawatiran tentang keuangan provinsi.
"Perkembangan ekonomi dan manajemen leverage adalah dasar dari metrik kredit regional,” kata Ting Meng, analis kredit di ANZ Bank China Co. Dia menambahkan bahwa faktor-faktor tersebut menentukan kemampuan pembayaran kembali.
Perusahaan di Liaoning hanya mengumpulkan cukup uang untuk menutupi 17 persen utang yang jatuh tempo selama tiga bulan terakhir. Perusahaan di Qinghai mampu mengganti 22 persen dari utang yang jatuh tempo, dan perusahaan di Henan meminjam sejumlah 29 persen dari utang yang jatuh tempo. Itu berarti penurunan besar dalam total kredit untuk ketiga area ini.
Bersama dengan Liaoning, kedua provinsi tersebut mengalami gagal bayar pada perusahaan besar milik negara baru-baru ini, menimbulkan pertanyaan tentang sumber keuangan pemerintah daerah.
Konglomerat energi dan pertambangan Qinghai Provincial Investment Group Co. gagal membayar obligasi tiga dolar tahun lalu, sedangkan default dari penambang batu bara yang berbasis di Henan, Yongcheng Coal & Electricity Holding Group Co. adalah salah satu dari serangkaian peristiwa kredit akhir tahun lalu yang mengguncang pasar keuangan dan mendorong bank sentral untuk menyuntikkan likuiditas.
China dalam beberapa bulan terakhir telah meluncurkan lebih banyak tindakan untuk mengurangi risiko keuangan dan menurunkan kecepatan pertumbuhan utang. Hal itu terlihat dari penurunan rasio refinancing nasional yang mencapai puncaknya pada April.
Rasio lebih dari 100 persen berarti lebih banyak utang yang diterbitkan daripada yang jatuh tempo, dan di bawah 100 persen berarti utang baru tidak mengikuti jumlah jatuh tempo. Skor 0 persen berarti tidak ada utang baru yang diterbitkan.