Bisnis.com, JAKARTA - Kebangkitan kasus-kasus virus Corona di Asia memukul pemulihan di sektor penerbangan yang berjalan lambat.
Kondisi itu memundurkan perkiraan kembalinya perjalanan ke tingkat sebelum pandemi menjadi pada 2025, dari prediksi sebelumnya pada 2024.
Menurut penyedia data dan analisis penerbangan OAG Aviation, kapasitas kursi China pada penerbangan domestik dan internasional telah turun lebih dari 20 persen sejak akhir September, ketika hampir kembali ke level Januari 2020.
Kapasitas tempat duduk di China mencapai 98 persen dari level Januari 2020 pada akhir September, tepat sebelum Liburan Golden Week. Kemudian jatuh ke 77 persen pada akhir Januari.
Orang-orang didorong untuk tidak melakukan perjalanan selama periode Tahun Baru Imlek, yang berlangsung hingga awal Maret, menunjukkan bahwa kapasitas mungkin tidak akan meningkat hingga akhir kuartal ini.
Sebelumnya, rebound cepat dalam penerbangan China telah menjadi titik terang yang langka untuk bahan bakar jet, yang telah mendapat pukulan terbesar di antara produk minyak selama pandemi.
Baca Juga
Penurunan jumlah penerbangan merupakan berita buruk bagi produsen minyak di Asia yang juga berjuang dengan melemahnya permintaan untuk bahan bakar transportasi lainnya. Namun, hal ini diimbangi dengan peningkatan konsumsi minyak tanah karena musim dingin yang lebih ekstrem.
"Kedalaman lonjakan Covid-19 terbaru, dampaknya pada penerbangan dan permintaan konsumen selanjutnya menunjukkan bahwa harapan pemulihan menjelang akhir 2021 mungkin tidak sekuat yang diharapkan," kata Mayur Patel, kepala Asia di OAG Aviation, dilansir Bloomberg, Rabu (3/2/2021).
Pemulihan penuh dalam perjalanan udara Asia kini mungkin memakan waktu hingga 2025, alih-alih perkiraan perusahaan sebelumnya pada 2024.
Kementerian transportasi China mengatakan jumlah total perjalanan, baik melalui udara, jalan dan kereta api, selama periode Tahun Baru Imlek akan 40 persen lebih rendah dari 2019.
Di negara lain di Asia juga terjadi pembalikkan pemulihan meski tak sekuat di China. Thailand dan Malaysia, misalnya, yang sangat bergantung pada pariwisata, termasuk di antara pasar yang paling terpukul.
Kapasitas kursi di Thailand berada pada 13 persen dari level sebelum virus setelah kembali menjadi 46 persen pada akhir Desember. Malaysia, yang mencapai 31 persen dari kapasitas kursi prapandemi akhir tahun lalu, kini berada pada tingkat keterisian 11 persen.
Malaysia menempatkan sebagian besar negara di bawah pembatasan pada bulan lalu, dan para pejabat akan memutuskan apakah akan memperpanjangnya pada Kamis pekan ini. Tidak ada tanda-tanda pemulihan segera dalam penerbangan di Thailand dan Malaysia dan ada kekhawatiran tentang kelangsungan jangka panjang maskapai domestik.
Sementara itu, margin bahan bakar jet Asia mencerminkan penurunan aktivitas, jatuh di bawah US$3 per barel minggu lalu setelah mencapai puncaknya pada US$5,52 akhir tahun lalu.
Kang Wu, Kepala Permintaan Global dan Analisis Asia di S&P Global Platts, mengatakan permintaan bahan bakar jet dan minyak tanah akan mencapai rata-rata 2,4 juta barel per hari pada kuartal ini, dengan lebih banyak konsumsi bahan bakar pemanas mengimbangi lebih sedikit penerbangan.
Di sisi lain, aktivitas penerbangan Eropa terlihat lebih buruk dari China, meski lebih baik dari Thailand dan Malaysia. Menurut perkiraan paling optimistis dari Eurocontrol, lalu lintas udara akan berada 72 persen di bawah level 2019 pada Februari dan Maret
Kembalinya kasus-kasus virus telah membuat pemerintah Asia menunda rencana untuk mengizinkan lebih banyak perjalanan udara antar negara. Namun, peluncuran vaksinasi diharapkan dapat mendorong peningkatan penerbangan secara bertahap, dan koridor untuk pebisnis dapat terbuka di wilayah tersebut.
"Kebangkitan telah menyebabkan inisiasi gelembung perjalanan di seluruh wilayah. Yang lebih buruk adalah penerapan rezim kontrol yang lebih ketat dan tidak koheren yang memengaruhi perjalanan udara," kata Subhas Menon, Direktur Jenderal Asosiasi Maskapai Asia Pasifik.