Bisnis.com, JAKARTA - Tindakan stimulus besar-besaran senilai US$12,7 triliun atau sekitar Rp1.778 triliun yang digelontorkan pemerintah seluruh dunia selama pandemi mencegah keruntuhan total ekonomi global dan mencegah Depresi Hebat terulang.
Namun, laporan PBB bertajuk World Economic Situation and Prospects menyatakan bahwa perbedaan mencolok dalam ukuran paket stimulus yang diluncurkan oleh negara maju dan berkembang akan menempatkan mereka pada lintasan pemulihan yang berbeda.
Pengeluaran stimulus per kapita oleh negara-negara maju hampir 580 kali lebih tinggi dibandingkan negara-negara paling tidak berkembang (LDCs), meskipun rata-rata pendapatan per kapita negara-negara maju hanya 30 kali lebih tinggi dari LDCs.
Kesenjangan yang amat lebar itu menggarisbawahi perlunya solidaritas dan dukungan internasional yang lebih besar, termasuk keringanan utang, untuk kelompok negara yang paling rentan.
Selain itu, untuk mendanai paket stimulus yang luar biasa besar, utang publik secara global telah meningkat sebesar 15 persen. Kenaikan utang yang sangat besar ini akan sangat membebani generasi mendatang kecuali sebagian besar disalurkan ke investasi yang produktif dan berkelanjutan, dan untuk merangsang pertumbuhan.
Menekankan pentingnya menstimulasi investasi, laporan tersebut menunjukkan bahwa sementara sebagian besar pengeluaran stimulus digunakan untuk melindungi pekerjaan dan mendukung konsumsi saat ini, ada gelembung harga aset di seluruh dunia. Indeks pasar saham mencapai level tertinggi baru selama beberapa bulan terakhir.
Baca Juga
“Kedalaman dan parahnya krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya menunjukkan pemulihan yang lambat dan menyakitkan,” kata Kepala Ekonom PBB dan Asisten Sekretaris Jenderal untuk Pembangunan Ekonomi Elliott Harris, dalam keterangan resmi, dilansir Selasa (26/1/2021).
Saat melangkah ke fase pemulihan dengan peluncuran vaksin, dunia perlu mulai meningkatkan investasi jangka panjang yang memetakan jalan menuju rebound yang lebih tangguh, disertai dengan kebijakan fiskal yang menghindari penghematan dini.
Selain itu, harus dirancang pula kerangka keberlanjutan utang, skema perlindungan sosial universal, dan percepatan transisi menuju ekonomi hijau.
Di sektor perdagangan, menurut laporan tersebut, ekspor-impor global menyusut sekitar 7,6 persen pada 2020 dengan latar belakang gangguan besar-besaran dalam rantai pasokan global dan arus pariwisata.
Ketegangan perdagangan yang berkepanjangan antara negara-negara ekonomi besar dan kebuntuan dalam negosiasi perdagangan multilateral telah membatasi perdagangan global sebelum pandemi.
"Krisis saat ini menegaskan kembali pentingnya merevitalisasi sistem perdagangan multilateral berbasis aturan untuk menempatkan ekonomi dunia pada lintasan pemulihan yang kuat dan tangguh,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB (UN DESA), Liu Zhenmin.
Laporan tersebut juga menyoroti peluang bagi negara berkembang untuk dapat memprioritaskan investasi yang memajukan pembangunan manusia, merangkul inovasi dan teknologi, dan memperkuat infrastruktur, termasuk menciptakan rantai pasokan yang tangguh.