Bisnis.com, JAKARTA -- Para pelaku usaha nasional kini akan dimudahkan dalam proses mengekspor produknya seiring dengan disahkannya Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP).
Dengan adanya RCEP ini, eksportir Indonesia hanya perlu menggunakan satu macam surat keterangan asal (SKA) untuk bisa mengekspor produknya ke seluruh negara anggota RCEP, sepanjang memenuhi origin criteria yang telah diatur.
Terdapat 10 negara anggota ASEAN serta enam negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan ASEAN, yakni Australia, China, Jepang, Korea Selatan, dan Selandia Baru yang menjadi negara anggota RCEP.
Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengatakan RCEP akan memberikan sejumlah dampak positif bagi Indonesia selain peningkatan ekspor. Setidaknya, RCEP ini akan membuat investasi meningkat lebih dari 20 persen, begitu pula dengan Produk Domestik Bruto yang akan meningkat dalam 10 tahun ke depan.
“Ekspor Indonesia diprediksi akan meningkat hingga 11 persen dalam lima tahun ke depan. Sebanyak 60 juta UMKM juga akan terkena dampak positif dengan adanya kerja sama perdagangan ini,” tuturnya dalam webinar 'Stimulus Covid-19 dan RCEP: Pemacu Pemulihan Ekonomi Indonesia dan Dunia 2021-2022' yang diselenggarakan Universitas Prasetiya Mulya, Ikaprama dan Katadata, Rabu (20/1/2021).
RCEP bisa menjadi kendaraan yang dapat meningkatkan peran dan kontribusi serta keberadaan Indonesia dalam perdagangan serta investasi dunia.
Baca Juga
Secara paralel, pemerintah juga sudah mengesahkan UU Cipta Kerja yang menjadi elemen penting dalam memperbaiki pekerjaan rumah terkait investasi. “Karena itu, RCEP dan juga UU Ciptaker harus dijadikan momentum untuk mencapai pemulihan ekononi yang sustainable pada tahun ini,” ujarnya.
Mahendra mengatakan, RCEP adalah lokomotif ekonomi dunia untuk 10-20 tahun ke depan. Bukan itu saja, RCEP akan membuat kawasan Asia menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia.
“Indonesia harus memanfaatkan momentum RCEP ini untuk meningkatkan ekspor karena selama ini, mayoritas ekspor Indonesia adalah ke negara-negara anggota RCEP,” kata Mahendra.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Shinta Kamdani mengatakan bahwa kontribusi perdagangan internasional untuk Indonesia masih sangat terbatas. Berdasarkan data World Bank, Gross Domestic Product (GDP) Indonesia masih jauh di bawah rata-rata dunia dan jauh di bawah peer group Asean.
Rata-rata dunia memiliki rasio perdagangan GDP sebesar 60,27 persen di 2019. Namun, Indonesia tak pernah lebih dari 50 persen dalam 10 tahun terakhir. Pada 2019, hanya 37, 3 persen.
“Ini tidak hanya masalah kinerja perdagangan Indonesia yang jauh di bawah peer group Asean, berarti Indonesia ini belum bisa memaksimalkan manfaat pasar global sebagai driver untuk pertumbuhan ekonomi nasional,” tutur Shinta.
Rektor Universitas Prasetiya Mulya Prof Djisman Simanjuntak mengatakan bahwa 2021 adalah tahun untuk pemulihan dari pandemi Covid-19. Namun, pertumbuhan baru sesudah 2021 juga harus disiapkan dari sekarang.
“Setiap krisis meninggalkan cacat di dalam ekonomi. Cacat itu adalah kesempatan yang hilang. Risiko pertumbuhan menurun kalau krisis tidak diikuti dengan prakarsa kebijakan yang struktural sifatnya. Karena itu, dari sekarang kita harus menyiapkan diri. Tidak ada pilihan kecuali mengatur ulang kebijakan ekonomi,” jelasnya.
Beberapa unsur kebijakan yang disebutkan oleh Djisman adalah pembangunan yang berpusatkan berdasarkan kesehatan, investasi yang besar dalam modal manusia, yaitu pendidikan dan pelatihan, serta investasi di infrastruktur, termasuk infrastruktur digital.
“Kita perlu dekarbonisasi, serius menangani investasi yang sifatnya dekarbonisasi seperti renewable energi, kita perlu membangun brand indonesia maju, yang sudah banyak jadi buah bibir, indonesia yang terbuka, connected, decarbonized,” ujar Djisman.