Bisnis.com, JAKARTA - Masa depan ekspor produk olahan nikel dalam negeri masih akan cukup baik kendati Uni Eropa melayangkan tuntutan ke WTO terkait dengan sengketa nikel.
Ketua Komite Tetap Bidang Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono mengatakan pemanfaatan produk olahan nikel yang diyakini meningkat dalam beberapa tahun ke depan diiringi dengan percepatan proses industrialiasi nikel yang juga terus berlangsung di Indonesia saat ini.
"Peluangnya ekspor produk olahan nikel Indonesia masih akan cukup baik dan cukup panjang perjalanan ke sana. Pasalnya, pemanfaatan nikel meningkat, kemudian karena dorongan pemerintah industrialisasinya berjalan cepat," ujar Handito kepada Bisnis.com, Jumat (15/1/2021).
Dengan demikian, lanjutnya, tuntutan yang dilayangkan Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) terkait sengketa nikel dengan Indonesia dinilai tidak akan berdampak kepada kinerja ekspor produk olahan nikel RI.
Di samping itu, kata Handito, Indonesia juga harus menggandeng negara-negara mitra dagang untuk memaksimalkan peluang ekspor produk olahan nikel ke depannya.
Diberitakan sebelumnya, pemerintah Indonesia menyatakan siap untuk melayani tuntutan yang dilayangkan oleh Uni Eropa terkait dengan kasus sengketa nikel kepada World Trade Organization (WTO).
Baca Juga
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan kementerian tengah mendalami tuntutan dari negara-negara Uni Eropa serta mengikuti aturan penyelesaian proses sengketa di WTO sesuai dengan aturan yang disepakati.
"Sebagai negara hukum dan demokrasi, Indonesia dengan senang hati akan melayani tuntunan tersebut," ujar Lutfi dalam konferensi pers secara virtual pada Jumat (15/1/2021).
Berdasarkan kesimpulan Kementerian Perdagangan, tuntutan yang dilayangkan didasarkan kepada anggapan bahwa aturan yang dimiliki Indonesia mengenai minerba menyulitkan pihak Uni Eropa untuk bisa berkompetisi dalam industri.
Pasalnya, kata Lutfi, setelah dipelajari oleh pemerintah, jumlah komoditas nikel yang diimpor oleh Uni Eropa dari Indonesia kecil dan dianggap mengganggu produktivitas negara-negara di kawasan tersebut.