Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia dinilai belum memerlukan pasar ekspor produk olahan anyar meskipun Uni Eropa melayangkan tuntutan terkait dengan sengketa nikel kepada World Trade Organization (WTO).
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonathan Handoyo mengatakan negara-negara seperti Taiwan, Turki, India, dan Jepang dinilai masih memberikan peluang cukup besar bagi ekspor produk olahan nikel dalam negeri.
"Sekarang pasarnya masih lebih besar daripada suplainya. Peluang ekspor ke Taiwan, Turki, India, dan Jepang, masih besar. Jadi, belum terlalu memerlukan strategi untuk mencari pasar ekspor baru," ujar Jonathan kepada Bisnis.com, Jumat (15/1/2021).
Saat ini, lanjut Jonathan, sebanyak 40 persen cadangan nikel dunia ada di Indonesia, terutama di Morowali, Sulawesi Tengah, di mana China merelokasi perusahaan-perusahaan smelternya.
Kendati demikian, Jonathan mengatakan pendapatan Indonesia dari ekspor nikel belum dimaksimalkan dengan baik. Jonathan mengungkapkan devisa hasil ekspor produk olahan nikel di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) tidak tercatat di bank lokal.
"Mereka transaksi jual-beli lewat bank di China. Jadi, itulah sebabnya tidak ada letter of credit [L/C] yang masuk karena tidak bank lokal Indonesia yang dapat menampung transaksi jual-beli mereka," lanjutnya.
Baca Juga
Dia melanjutkan, Peraturan Bank Indonesia (PBI) 21/14/PBI 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa Pembayaran Impor (DPI) mencabut ketentuan PBI 21/03/PBI/2019 tentang penerimaan DHE dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam.