Bisnis.com, JAKARTA - Seiring target nol emisi di industri pengapalan, pelaku dituntut untuk melakukan transisi armada dan bahan bakar.
Akibatnya, ada ketidakpastian mengenai bahan bakar ramah lingkungan di masa depan, sehingga berdampak pada anjloknya pesanan kapal baru hingga 50 persen pada tahun lalu. Pada 2019 pesanan kapal baru telah menurun 10 persen.
Para pelaku masih menimbang-nimbang bahan bakar transisi sehingga menunda pemesanan kapal baru. Namun demikian, A.P. Moller-Maersk, perusahaan kontainer terbesar di dunia, memiliki pandangan berbeda.
"Tidak ada waktu untuk apa yang disebut bahan bakar transisi," kata CTO A.P. Moller-Maersk Palle Laursen, dilansir Bloomberg, Senin (11/1/2021).
Perusahaan Denmark itu telah menetapkan target nol emisi saja dan langsung menentukan bahan bakar berbasis amonia, alkol dan campuran alkohol-lignin sebagai yang paling menjanjikan. Laursen mengatakan Maersk mempertahankan kapasitas armadanya sejak 2018 dan belum berinvestasi dalam kapal besar baru belakangan ini.
Diketahui pada 2018, Organisasi Maritim Internasional (IMO) menyerukan pengurangan 40 persen intensitas karbon pelayaran internasional pada 2030 dan penurunan 70 persen pada 2050 dari tingkat 2008.
Sasaran tersebut mungkin menjadi lebih ambisius ketika badan PBB meninjaunya pada 2023. Target tersebut, ditambah dengan situasi pandemi telah memangkas kinerja pesanan kapal baru.
Krispen Atkinson, konsultan utama di IHS Markit, mengatakan amonia dan hidrogen mungkin adalah bahan bakar bersih pilihan untuk saat ini. Sedangkan elektrifikasi kapal adalah kemungkinan lain, meskipun rasio tenaga pada beban hanya praktis untuk operasi dengan rute pendek.
"Saat pemilik mempertimbangkan pembangunan [kapal] baru, mereka sangat bingung," kata Chryssakis dari DNV GL.
Dia mengatakan bahan bakar masa depan tidak akan tersedia dalam skala besar hingga setidaknya 2030. Sementara semua solusi perlu dieksplorasi, industri tidak bisa menunggu.
Sejumlah alternatif bahan bakar kapal masa depan untuk industri pengangkutan antara lain amonia, hidrogen, biofuel, dan elektrifikasi. Selain itu ada pula LNG, sebagai pesaing utama untuk bahan bakar transisi menuju dekarbonisasi penuh.
Royal Dutch Shell Plc akan menyewa 40 tongkang bahan bakar ganda untuk digunakan di sungai Rhine. Meskipun gasnya masih berupa bahan bakar fosil, emisi karbon lebih rendah daripada bahan bakar laut konvensional.
Atkinson dari IHS Markit mengatakan kapal berbahan bakar LNG sudah mencapai 8 persen dari pesanan kapal baru. Sedangkan menurut Christos Chryssakis, manajer pengembangan bisnis di DNV GL, menggunakan LNG akan mengurangi emisi gas rumah kaca untuk perusahaan pelayaran hampir 20 persen dibandingkan dengan bahan bakar minyak.
Namun, terlepas dari berbagai alternatif bahan bakar tersebut, sebagian besar masih dalam tahap uji coba dan tidak akan dapat diskalakan setidaknya selama satu dekade. Dengan umur kapal komersial rata-rata sekitar 20 tahun, memilih teknologi yang belum pasti keberlanjutannya bisa jadi sangat mahal.
Data IHS Markit menunjukkan, pesanan turun hampir 10 persen pada 2019 dan kemudian lebih dari 50 persen pada 2020 ke level terendah dalam setidaknya dua dekade. Jika aktivitas tidak meningkat, hal itu dapat menyebabkan kelangkaan kapal dan lonjakan tarif angkutan dalam beberapa tahun.
"Orang tidak memesan kapal karena kami tidak tahu harus menggunakan bahan bakar apa," kata Morten Aarup, kepala riset pasar di pemilik kapal Denmark D/S Norden A/S.
Selain menetapkan target nol emisi, IMO juga memperkenalkan aturan pada awal 2020 yang melarang bahan bakar laut yang mengandung lebih dari 0,5 persen sulfur untuk kapal yang tidak dilengkapi scrubber pengurang polusi.
Jayendu Krishna, Direktur di Drewry tersebut, mengatakan target tersebut juga berkontribusi pada penurunan pesanan kapal baru. Sementara beberapa proyek bahan bakar alternatif telah dimulai, tidak jelas mana yang akan terukur.