Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) menyatakan kelangkaan kontainer akan menggerus margin pabrikan pada kuartal I/2021.
Pasalnya, kelangkaan kontainer bakal mengerek naik biaya logistik untuk ekspor barang jadi maupun impor bahan baku.
Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman menyatakan pabrikan memilih mitigasi menggerus margin mengingat daya beli konsumen yang belum pulih dari pandemi Covid-19. Sejauh ini, lanjutnya, ketersediaan bahan baku maupun arus ekspor masih bisa diatasi oleh masing-masing pabrikan makanan dan minuman (mamin).
"Saya perkirakan rata-rata parik tidak berani menaikkan harga pada 2021 karena masih dalam proses pemulihan, dan [kondisi pasar] masih belum normal sehingga menaikkan harga itu risikonya cukup tinggi. Kebanyakan produsen saya dengan hanya akan bertahan harganya," katanya kepada Bisnis, Minggu (3/1/2021).
Seperti diketahui, berlakunya protokol lockdown di negara dengan pelabuhan transit membuat kapasitas pelayanan anjlok. Alhasil, terjadi ketidakseimbangan kontainer di mayoritas negara di dunia, termasuk Indonesia.
Adhi mencatat fenomena tersebut membuat biaya logistik yang diterima industri mamin naik sekitar 100 persen. Adapun, Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) meramalkan kelangkaan kontainer tersebut baru akan terurai pada akhir kuartal I/2021.
Baca Juga
Kondisi tersebbut memaksa industri mamin tidak memprioritaskan keuntungan pada 2021 mengingat daya beli masyarakat masih dalam masa pemulihan.Tetapi, Adhi optimistis industri mamin dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan 2020 walaupun masih belum dapat kembali normal.
"Dalam proses pemulihan, yang paling utama kelancaran [arus barang] dan arus kas, tapi profitabilitas jadi nomor dua. Karena, kalau mikir untuk tapi [produk] tidak jalan, ya percuma," ucapnya.
GPEI memberikan contoh bahwa saat ini sekitar 2.000 kontainer milik PT Wilmar Nabati Indonesia menumpuk di gudang industri Wilmar. Pasalnya, saat ini pelabuhan hanya mampu mengapalkan sekitar 30-40 persen dari kapasitas biasanya. Artinya, hanya 30-40 persen hasil produksi yang dapat dikirimkan ke konsumen global.
Sementara itu, sekitar 60-70 persen hasil produksi sejak September 2020 berpotensi bertumpuk dan menahan perbaikan utilisasi industri furnitur nasional.