Bisnis.com, JAKARTA - Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) melaporkan bahwa China, India, dan negara berkembang lainnya akan memimpin pertumbuhan pada 2021 mendatang, meskipun pemulihan permintaan akan kurang kuat dibandingkan setelah krisis keuangan global.
Menurut Laporan Pasar Listrik IEA yang dipublikasikan, Senin (14/12/2020), menyebutkan krisis dari pandemi Covid-19 akan mengakibatkan penurunan sebesar 2 persen dalam permintaan listrik global pada tahun 2020.
IEA memperkirakan dengan pulihnya ekonomi dunia pada tahun 2021, permintaan listrik diproyeksikan akan tumbuh sekitar 3 persen. Tentu itu akan jauh lebih lemah daripada rebound permintaan lebih dari 7 persen pada tahun 2010, tahun setelah krisis keuangan global.
China akan menjadi satu-satunya negara yang mengalami permintaan listrik yang lebih tinggi pada tahun 2020. Namun, pertumbuhan yang diharapkan sekitar 2 persen jauh di bawah rata-rata saat ini yang sebesar 6,5 persen.
Konsumen listrik besar lainnya yaitu termasuk Amerika Serikat, India, Eropa, Jepang, Korea dan Asia Tenggara. Negara tersebut akan mengalami penurunan untuk tahun ini.
IEA memproyeksikan pembangkit listrik energi terbarukan, seperti tenaga air, angin, dan matahari, akan tumbuh hampir 7 persen pada tahun 2020. Sementara pembangkit listrik tenaga batu bara akan turun sekitar 5 persen.
Penurunan terbesar yang pernah tercatat, yaitu pembangkit tenaga nuklir sekitar 4 persen dan pembangkit listrik berbahan bakar gas sebesar 2 persen. Secara keseluruhan, emisi CO2 dari pembangkit listrik akan turun sebesar 5 persen pada tahun 2020.
Fatih Birol, Direktur Eksekutif IEA, mengungkapkan listrik memiliki peran sentral dalam dunia energi saat ini. Menurutnya, berdasarkan data terbaru, Laporan Pasar Listrik IEA memberikan pengetahuan baru tentang sektor penting ini.
"Mulai tahun depan, kami akan menerbitkan edisi baru laporan setiap setengah tahun,” ujarnya, dikutip dari laman IEA, Senin (14/12/2020).
IEA mengungkapkan permintaan yang menurun, harga bahan bakar yang lebih rendah, dan peningkatan pembangkit listrik terbarukan telah membuat turun harga listrik grosir pada tahun 2020.
Sementara indeks harga pasar listrik grosir IEA menunjukkan penurunan harga rata-rata sebesar 28 persen di tahun 2020, usai turun 12 persen pada tahun 2019 silam.
Dalam laporan itu, IEA juga memperkirakan pertumbuhan pembangkit listrik terbarukan akan berlanjut pada tahun 2021 mendatang dengan peningkatan lebih dari 6 persen, serta memperluas pangsa energi terbarukan dalam bauran listrik menjadi 29 persen dari 28 persen pada tahun 2020.
Tenaga nuklir ditetapkan untuk pertumbuhan 2,5 persen tahun depan tentang rebound di Prancis dan Jepang serta pabrik baru yang mulai secara daring di China dan Uni Emirat Arab.
Di negara maju, pertumbuhan energi terbarukan dan tenaga nuklir akan terus menyusutkan ruang yang tersisa untuk pembangkit bahan bakar fosil. Kemungkinan besar, gas alam akan terkena dampak lebih dari batu bara. Hal ini akibat dari perkiraan kenaikan harga gas alam.
Sementara di negara berkembang, pertumbuhan permintaan diperkirakan melebihi peningkatan energi terbarukan dan tenaga nuklir, sehingga menyisakan ruang untuk pembangkit batu bara dan gas untuk berkembang.
Hasil yang diharapkan secara global adalah pembangkit berbahan bakar batu bara meningkat sekitar 3 persen pada tahun 2021. Sementara pembangkit listrik tenaga gas meningkatkan produksi sekitar 1 persen. Hal ini akan menyebabkan peningkatan emisi CO2 dari sektor kelistrikan sekitar 2 persen pada tahun 2021 mendatang.