Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri pengolahan ikan melakukan perubahan strategi penjualan guna menjaga produktivitas selama pandemi Covid-19.
Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo mengatakan pada awal pandemi pelaku usaha harus mengalami penurunan produksi akibat permintaan dari food service yang anjlok hingga 80 persen, meski kini ada perbaikan atau turun sekitar 60 persen.
"Namun, ternyata di ritel cukup stabil malah ada yang bertumbuh hingga 30 persen karena permintaan produk siap saji meningkat pesat," katanya dalam Eastfood Indonesia Virtual Expo, Rabu (2/12/2020).
Untuk itu, saat ini pelaku industri pengolahan ikan telah mengubah pemasaran dari pasar food sevice ke ritel atau secara daring. Selain itu, konsumen juga dinilai lebih senang dengan produk siap masak.
AP5I pun mencatat sejumlah produk yang laris di pasaran saat ini adalah varian ikan dengan bumbu teriyaki, korean BBQ, lada hitam, dan laiinya. Tak hanya itu, produk olahan udang dan surimi juga sangat diminati saat ini.
Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan hingga saat ini kinerja pengolahan industri perikanan masih kurang bertaji, kendati Indonesia memiliki peluang yang besar dan tercatat sebagai negara dengan produksi ikan terbesar kedua setelah China.
Baca Juga
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA) Kemenperin Gati Wibawaningsih mengatakan data terbaru per 2018 menunjukkan produksi ikan di Indonesia sekitar 7,3 ton dengan 6,7 ton dari wilayah pengolahan perikanan (WPP) dan 0,6 juta ton dari perairan darat.
Dari segi konsumsi ikan, konsumsi Indonesia juga masih setengah dari Jepang atau baru 50,7 kilogram per kapita per tahun. Angka itu juga menunjukkan ketertinggalan dari negara tetangga seperti Singapura.
"Kalau kita lihat dari kinerja industri pengolahannya memang masih kurang greget. Utilisasi per 2019 di angka 51 persen naik setelah 2016 di level 47 persen. Tahun ini sebenarnya jika tidak ada pandemi kami ingin tingkatkan di level 65 persen," katanya.
Gati mengemukakan ekspor dari industri ini tercatat US$4,1 miliar dan impor US$0,28 miliar dengan besaran produksi 1,4 juta ton pada tahun lalu. Sebaliknya, unit usaha industri pengolahan ikan saat ini ada 718, menengah 715, dan industri kecil sekita 3.000 usaha.
Adapun, Gati memperkirakan permasalahan industri pengolahan ikan saat ini adalah pasokan bahan baku yang masih kurang akibat ikan lokal masih bersifat musiman sehingga jumlah terbatas. Belum lagi ketergantungan pada bahan penolong yang harus diimpor seperti STPP dan tin plate, serta biaya logistik yang mahal.
"Saat ini kapasitas produksi industri kita 2,7 juta ton dengan bahan baku terolah pada 2019 sekitar 1,4 juta ton dan tahun lalu masih tercatat kekurangan bahan baku 1,3 juta ton," ujar Gati.