Bisnis.com, JAKARTA – Pengembangan budidaya lobster sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia, tetapi pengembangbiakannya membutuhkan perlakuan khusus.
Budidaya lobster sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.
“Sebenarnya pengembangan budi daya lobster sudah dilakukan Indonesia sejak lama, akan tetapi memerlukan waktu pembesaran yang sangat lama sehingga banyak yang tidak berhasil melakukannya,” kata Pakar crustacea Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Rianta Pratiwi dalam diskusi virtual ‘Memahami Potensi Lobster dari Perspektif Kelautan dan Sosial’, Senin (30/11/2020).
Di perairan tropis misalnya, P. ornatus memiliki fase larva 4-7 bulan, sedangkan P. longipes sekitar lima bulan dengan ukuran benih bening/benur 5-7cm.
Menurutnya, lobster tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia dan hidup di perairan dangkal hingga kedalaman 100-200 meter di bawah permukaan laut dengan kisaran suhu 20-30°C.
“Mereka biasanya menyenangi daerah terumbu karang, bersembunyi di dalam lubang atau dibalik batu-batu karang yang airnya dangkal di daerah tropis ataupun semi tropis.
Baca Juga
Dia pun merinci beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan budidaya yang juga harus disesuaikan dengan kondisi di alam.
Hal-hal yang harus diperhatikan tersebut adalah suhu perairan sekitar 25- 26°C; salinitas 30-35 ppt; substrat dasar adalah pasir atau pasir berlumpur tanpa karang dan cangkang tiram, perairan harus bebas dari pengaruh air tawar dan dari aliran lain yang berasal dari kegiatan di darat, pabrik, pertanian dan permukinan; dekat dengan sumber benih dan sumber pakan; mudah dijangkau dengan transportasi.
“Selain itu, juga harus terlindung dari angin kencang dan ombak besar, tetapi aliran pasang surut di bagian atas dan bawah kolom air masih cukup kuat. Kedalaman air terendah adalah 1,5 m pada saat surut,” jelasnya.
Rianta menekankan pengembangan lobster harus dilaksanakan dalam tata kelola perikanan dengan menjunjung tinggi prinsip tanggung jawab dan berkelanjutan.
“Syarat-syarat tersebut penting diterapkan, karena bisa mendukung kelestarian ekosistem perairan laut yang menjadi habitat benih lobster,” jelasnya.
Peneliti ahli BBIL LIPI Sigit Anggoro Putro Dwiono mengatakan bahwa budidaya lobster di Indonesia masih berupa rintisan.
“Permasalahannya adalah infrastruktur [sarana pemeliharaan berupa rakit dan jaring] cukup mahal, pakan masih mengandalkan ikan rucah [belum ada pakan buatan] yang harganya sangat fluktuatif [Rp5.000 - Rp15.000/kg] tergantung musim,” jelasnya.
Dirinya pun menjelaskan Food Conversion Rate (FCR) masih kurang bagus yakni sekitar 20 kg pakan hanya menghasilkan 1 kg lobster sehingga kurang menguntungkan.
Tak hanya itu, Sigit menambahkan harga jual lobster di tingkat nelayan relatif murah karena via pengepul dan rantai perdagangannya yang panjang. “Oleh karena itu jumlah pembudidaya dan sarana yang tersedia hanya sedikit” ujarnya.