Bisnis.com, JAKARTA - Delapan bulan sudah pandemi COVID-19 menghantam Indonesia. Dalam kurun waktu yang relatif singkat itu, Indonesia pun resmi masuk ke dalam resesi setelah 2 kuartal berturut-turut ekonomi terkontraksi. Belajar dari krisis 1998, UMKM disebut-sebut sebagai penyelamat ekonomi Indonesia.
Tahun ini, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengeluarkan pernyataan yang hampir serupa, bahwa UMKM dapat menjadi “buffer” ekonomi nasional. Sejalan dengan pernyataan Teten, pemerintah kini juga fokus membantu UMKM melalui berbagai program, diantaranya relaksasi bunga, dan juga stimulus modal.
Hadirnya program-program tersebut memberi angin segar kepada kita, namun, kenyataan di lapangan, penetrasi program tersebut ternyata dirasa belum optimal. Segudang kendala teknis menjadi penghambat lajunya program pemerintah dalam penguatan UMKM. Beberapa kendala yang saat ini solusinya berada dalam jangkauan “dua ibu jari” dari 66% masyarakat Indonesia adalah pencatatan & penggunaan data yang belum maksimal, serta kesempatan untuk melakukan penetrasi ke pasar yang lebih luas yang belum banyak ditekuni.
Tanpa data yang riil, perbankan, LKBB (Lembaga Keuangan Bukan Bank), maupun lembaga filantropi sebagai distributor bantuan akan kesulitan menarget dan menyalurkan bantuan kepada “the real” UMKM disebabkan mayoritas UMKM tidak memiliki pencatatan keuangan yang baik. Tanpa akses ke pasar yang lebih luas, pencatatan UMKM yang sudah baik pun tidak akan berpengaruh banyak, karena ketiadaan transaksi yang dapat mendukung ketahanan usaha tersebut kedepannya.
Jika UMKM sudah go-digital, mereka dapat mengakses pasar yang lebih luas. Data McKinsey pada Juni 2020 menyatakan terjadi peningkatan transaksi e-commerce sebesar 26% atau setara 3,1 juta transaksi per hari sejak pandemi. Disini kita bisa melihat bahwa terjadi pergeseran perilaku berbelanja masyarakat, dari offline menuju online. Ditambah lagi, platform digital kerap menawarkan beragam insentif untuk mendorong konsumsi masyarakat, UMKM perlu memanfaatkan fenomena ini untuk meningkatkan probabilitas mereka dalam meraih transaksi-transaksi baru di luar jangkauan toko offline mereka.
Kemudian, transaksi UMKM yang sudah go-digital akan tercatat dengan baik, apalagi jika transaksi tersebut juga dilakukan secara digital misalnya dengan menggunakan uang elektronik atau metode pembayaran digital lainnya, UMKM akan memiliki 2 sumber pencatatan, yaitu pada platform digital tempat terjadinya transaksi, dan juga pada akun bank yang mereka miliki. Pencatatan transaksi dan keuangan yang baik inilah yang dapat mereka jadikan sebagai referensi ketika hendak mengajukan pinjaman modal kepada perbankan, maupun LKBB.
Selain digitalisasi, pemberdayaan UMKM berbasis syariah juga menjadi area yang patut diperkuat. 87% dari total populasi masyarakat Indonesia adalah Muslim (229 juta jiwa). Dengan jumlah yang begitu besar ini, produk dan jasa berbasis syariah mulai dilirik baik dari sisi supplier maupun pasar. Hal ini dapat dilihat dari paparan Bank Indonesia pada “Laporan Ekonomi dan Keuangan Syariah 2019”, bahwa pada tahun 2019, performa ekonomi syariah mengungguli PDB nasional dengan pertumbuhan hingga 5,72%, dengan sektor makanan halal sebagai kontributor terbesarnya.
Momentum naiknya tren UMKM berbasis syariah ini dapat kita manfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meskipun begitu, berdasarkan survei kolaborasi Lazis Muhammadiyah (Lazismu) bersama platform Gojek dan Gopay kepada UMKM syariah binaan Muhammadiyah, nampak jelas bahwa pelaku UMKM terkena dampak pandemi dari segi produksi dan konsumsi seperti; harga bahan baku yang meningkat (73%), serta penjualan yang menurun selama pandemi (78%). Selebihnya, UMKM syariah masih belum optimal dalam memanfaatkan teknologi digital. Survei yang sama menunjukkan 52% UMKM syariah belum terdigitalisasi karena tidak mahir menggunakan teknologi digital, sementara 37% mengatakan tidak paham cara mendaftar ke platform digital.
Oleh sebab itu, transformasi digital kepada UMKM secara umum, dan UMKM syariah secara khusus, merupakan kebutuhan yang tak terelakkan. Tentu dalam melakukannya tidaklah mudah, edukasi yang intensif, masif, serta pendampingan secara berkala adalah keharusan. Kerjasama multi-sektor dan multi-stakeholder diperlukan untuk mendorong transformasi digital sangatlah krusial. Salah satu contoh nyata adalah kolaborasi Gojek, Gopay dan Lazismu dalam melatih dan membimbing UMKM syariah dalam ekosistem Muhammadiyah agar “melek” teknologi. Kerjasama ini telah terjalin sejak Maret 2019 dengan visi mendorong pertumbuhan ekonomi umat berbasis digital melalui program pelatihan Gojek Wirausaha yang membantu UMKM syariah memahami pentingnya go-digital dan cara pemanfaatan teknologi, serta digitalisasi pembayaran dan pengumpulan donasi pada ekosistem Lazismu melalui teknologi GoPay.
Namun, seperti yang telah disebutkan di atas, mentorship secara berkala juga diperlukan oleh UMKM, karena terkadang, apa yang telah disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan, seminar, dsb, dirasa cukup membingungkan untuk di terapkan oleh UMKM. Ketika kebingungan itu terjadi (yang biasa kita sebut dengan Gagap Teknologi atau Gaptek), kebanyakan UMKM memilih untuk melakukan apa yang sudah biasa mereka lakukan, yaitu berjualan offline. Bahkan sebagian memutuskan untuk tidak akan go-digital karena merasa kesulitan saat menggunakan teknologi dan platform digital.
Disinilah peran penting dari community development yang memanfaatkan community-based education, dimana UMKM dikumpulkan dalam satu wadah, dipantau, dan dibimbing oleh pribadi / instansi yang paham teknologi digital, sehingga pribadi / instansi itu bisa membantu menjawab dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapi oleh UMKM di dunia digital. Komunikasi yang terjalin dalam komunitas itu juga dapat menjadi motivasi bagi UMKM untuk terus semangat memanfaatkan teknologi dan platform digital.
Transformasi digital tidak diragukan lagi dapat menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Tanpanya, akselerasi ekonomi tidak akan terjadi. Melalui transformasi digital yang merata dan menyeluruh, juga kolaborasi multi-stakeholder, diharapkan dalam 2-3 tahun kedepan, potensi UMKM syariah yang sebenarnya dapat semakin terbuka.
Oleh karena itu, kolaborasi dan sinergi lembaga filantropi Islam dan platform digital dalam memperkuat UMKM syariah setidaknya akan mengakselerasi pemberdayaan ekonomi di masa semua aspek kehidupan, terumata kehidupan ekonomi, sudah mulai memanfaatkan keunggulan digitalisasi.