Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyatakan kontribusi produksi olahan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada 2021 akan meningkat, seiring dengan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada hilirisasi industri.
Ketua Umum Gimni Sahat Sinaga mendata saat ini produk olahan CPO berkontribusi sekitar 76 persen dari total ekspor CPO dan turunannya. Sahat menilai angka tersebut akan meningkat pada 2021 karena adanya kebijakan pemerintah yang pro hilirisasi industri CPO.
"Saya proyeksi [total ekspor CPO dan turunannya pada 2021] 35,8 juta ton. Itu, most likely, 19-20 persen crude [CPO], sisanya atau 80 persen bisa ditopang processed [CPO], sehingga nilai tambah akan lebih baik," katanya kepada Bisnis, Selasa (24/11/2020).
Sahat menyatakan proyeksi tersebut berdasarkan pada prediksi kontribusi produk turunan CPO dari Malaysia yang dinilai akan melemah. Hal ini disebabkan oleh India yang akan menurunkan biaya levy CPO nasional dan menaikkan levy turunan CPO.
Alhasil, dinamika industri turunan CPO akan mengalami kesulitan. Pasalnya, harga CPO Indonesia yang sudah tinggi menjadi kurang menarik untuk dijadikan bahan baku oleh industri turunan CPO Negeri Jiran.
"Malaysia akan mengalami kesulitan karena harga CPO kita akan tinggi [pada 2021], tidak mungkin beli [CPO] dia dari Indonesia. Makanya, mangkraklah industri [turunan CPO] Malaysia," ucap Sahat.
Baca Juga
Seperti diketahui, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 87/2020 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor atas Produk Pertanian dan Kehutanan yang Dikenakan Bea Keluar membuat bea keluar CPO per November 2020 naik US$13,5. Dengan kata lain, bea keluar CPO saat ini menjadi US$782,03 per metrik ton.
Sahat menyatakan Kementerian Keuangan akan kembali menyesuaikan nilai bea keluar pada seluruh industri CPO dan turunannya dalam waktu dekat. "[Alhasil, selisih] penggunaan dana pungutan antara crude dan produk jadi makin besar."
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kanya Lakshmi Sidarta menilai beleid tersebut merupakan hal yang dilematis. Pasalnya, pelaku industri mendorong hilirisasi di dalam negeri, tapi pabrikan CPO telah memiliki perjanjian dagang dengan pelaku industri di negara tujuan ekspor.
"Kalau kami ibaratnya mau menggenjot semua [hilirisasi] di dalam negeri, nanti dunia marah karena dunia sudah melakukan investasi untuk membeli produk-produk [lokal]," katanya.
Berdasarkan catatan Gapki, volume ekspor CPO pada Januari-Agustus 2020 merosot 11 persen secara tahunan menjadi 21,3 juta ton. Adapun, penurunan tersebut didorong oleh lesunya permintaan produk olahan CPO mencapai 16,1 persen menjadi 12,8 juta ton.
Kanya menyatakan secara singkat pihaknya mendorong usaha hilirisasi industri CPO. Namun demikian, Gapki meminta agar pemerintah mengkaji nilai bea keluar ekspor CPO dan olahan CPO agar nilai bea keluar yang ditetapkan lebih sesuai.