Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan sebanyak 5 kali sebesar 125 basis poin (bps) sepanjang 2020.
Terbaru, BI dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) 18-19 November 2020 memutuskan untuk kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 bps, yang awalnya berada pada level 4 persen menjadi 3,75 persen.
Penurunan suku bunga acuan tersebut mempertimbangkan perkiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga, dan sebagai langkah lanjutan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Selain itu, BI memandang laju penyaluran kredit perbankan masih berjalan lambat, dikarenakan permintaan yang masih lemah dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi Covid-19.
Tercermin, dari laju penyaluran kredit perbankan yang mengalami kontraksi pada Oktober 2020, tercatat -0,47 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Kepala Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana berpendapat penurunan suku bunga acuan BI kali ini tidak akan banyak memengaruhi pemulihan sisi permintaan yang tertekan, karena sumber masalahnya adalah ketidakpastian akibat Covid-19.
Baca Juga
Hal ini juga ditunjukkan dari keyakinan konsumen pada Oktober 2020 yang masih lemah, terlihat dari penjualan ritel dan mobil yang masih lemah.
"Kami memandang sikap akomodatif bank sentral akan dipertahankan di masa mendatang," katanya, Kamis (19/11/2020).
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan penguatan sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal sangat penting dalam mendorong dan mengakselerasi pemulihan ekonomi Indonesia pascaCovid-19.
Kondisi eksternal belakangan ini mendukung BI dalam menerapkan kebijakan suku bunga rendah, sejalan dengan sinyal The Fed yang akan menetapkan kebijakan suku bunga mendekati nol setidaknya hingga 2023.
Kemenangan Joe Biden pada Pemilu di Amerika Serikat juga membawa dampak pada mengalirnya arus modal asing ke emerging market, termasuk Indonesia, sehingga nilai tukar rupiah cenderung stabil, bahkan menguat.
Inflasi pun diperkirakan akan berada pada level yang rendah hingga akhir 2020, lebih rendah dari target batas bawah BI sebesar 2 persen karena daya beli yang masih lemah. Demikian pula defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang juga rendah.
"Faktor-faktor ini, inflasi dan CAD yang rendah, lebih dari cukup untuk mendorong BI dalam menerapkan kebijakan moneter dan makroprudensial yang akomodatif," jelasnya.
Faisal memprediksi ruang untuk menaikkan suku bunga acuan di 2021 hampir tidak ada, sedangkan ruang untuk menurunkan suku bunga sangat sempit.
Menurutnya, suku bunga kebijakan yang relatif rendah masih diperlukan untuk membantu pemulihan ekonomi, terutama untuk kasus Indonesia yang diperkirakan akan mengalami pemulihan ekonomi secara bertahap.
"Kami memperkirakan inflasi pada tahun depan akan meningkat menjadi 2,92 persen dan CAD akan melebar menjadi 2,4 persen sejalan dengan kondisi ekonomi yang membaik. Ini kemungkinan akan membatasi ruang penurunan suku bunga acuan lebih lanjut," tuturnya.