Bisnis.com, Jakarta - Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) akhirnya resmi ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo kemarin, Minggu, (15/11/2020).
Perjanjian mencakup China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Australia, dan 10 negara ASEAN. Perjanjian terbesar di dunia ini yang mengikat 15 negara ini menandingi blok dagang Trans Pacific Partnership yang didorong oleh AS.
Berikut beberapa fakta-faktra penting terkait dengan perjanjian RCEP:
1. Hampir Satu Dekade
Setelah melalui proses hampir satu dekade, perundingan kerja sama tersebut akhirnya dapat diselesaikan. Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan hal ini menjadi bagian historis bagi Indonesia yang menginisiasi kerja sama tersebut saat bertindak selaku Ketua ASEAN pada 2011.
2. Harapan Bagi Pemulihan Ekonomi
Baca Juga
Tercapainya perundingan RCEP tersebut, kata Jokowi, juga menandai komitmen negara-negara terhadap prinsip perdagangan multilateral yang terbuka, adil, dan menguntungkan semua pihak. Lebih penting lagi, bagi dia, hal ini memberikan harapan dan optimisme baru bagi pemulihan ekonomi pasca pandemi di kawasan.
Jokowi juga menyebut penandatanganan perjanjian kerja sama ini hanyalah sebuah permulaan. Setelahnya, negara-negara yang terlibat masih harus berupaya untuk mengimplementasikannya.
"Ini juga membutuhkan komitmen politik pada tingkat tertinggi. Bagi Indonesia, kami masih membuka peluang negara di kawasan untuk bergabung dalam RCEP ini," kata dia.
3. Perjanjian Perdagangan Terbesar di Dunia
RCEP menjadi perjanjian perdagangan terbesar di dunia di luar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) ditinjau dari cakupan dunia untuk total Produk Domestik Bruto (PDB) (30,2 persen); investasi asing langsung (FDI) (29,8 persen); penduduk (29,6 persen); dan perdagangan (27,4 persen) yang
sedikit di bawah EU-27 yang tercatat 29,8 persen.
Gagasan RCEP dicetuskan saat Indonesia memegang kepemimpinan ASEAN pada 2011, dengan tujuan mengonsolidasikan lima perjanjian perjanjian perdagangan bebas (FTA) yang sudah dimiliki ASEAN dengan enam mitra dagangnya. Konsep RCEP kemudian disepakati negara anggota ASEAN pada akhir 2011 di Bali, Indonesia. Baru pada akhir 2012 setelah “menjual” konsep ini kepada enam negara mitra FTA ASEAN, para Kepala Negara/Pemerintahan dari 16 negara pun sepakat meluncurkan perundingan RCEP pada 12 November 2012 di Phnom Penh, Kamboja.
4. Kendala
Perundingan RCEP berlangsung bukan tanpa kendala. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengungkapkan, perbedaan tingkat kesiapan ekonomi negara peserta RCEP memberikan tantangan tersendiri karena ambisi dan sensitivitas yang berbeda antara negara maju, negara berkembang, dan negara kurang berkembang membuat perundingan sering memanas.
“Dalam situasi seperti itu, dituntut pemahaman isu secara mendalam, penguasaan seni berunding secara plurilateral, kesabaran, dan bahkan sense of humor dari Ketua TNC, yang akhirnya mampu mempertahankan jalannya perundingan secara produktif. Praktis selama lebih dari delapan tahun berunding, tidak satu kali pun ada negara yang melakukan ‘walk-out’ dari perundingan,” ujar Agus.
5. Komprehensif
Perjanjian RCEP dapat dikatakan sangat komprehensif, meskipun tidak selengkap dan sedalam perjanjian regional lainnya, seperti Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CP-TPP). Namun, dalam merespons dampak ekonomi dari Covid-19, seorang pengamat ekonomi dari Hinrich Foundation, Stephen Olson, menyatakan, dalam beberapa tahun ke depan rantai nilai (valuechain) akan cenderung lebih pendek, memanfaatkan kedekatan geografis, dan menghindari rantai nilai lintas samudra.
Dalam konteks ini, RCEP yang secara geografis menyatukan Asia Timur, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru akan lebih cepat tumbuh dan menguat dibandingkan CP-TPP atau Perjanjian Trans-Atlantik yang sementara ini dihentikan perundingannya.