Bisnis.com, JAKARTA – Pemberian waktu transisi bagi perusahaan elektronika agar siap menghadapi ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 68 Tahun 2020 tentang Ketentuan Impor Alas Kaki, Elektronik, dan Sepeda Roda Dua dan Roda Tiga dinilai bisa menjadi jalan tengah dalam menyelesaikan permasalahan pasokan.
Direktur Marketing PT Hartono Istana Teknologi (Polytron) Tekno Wibowo mengatakan kehadiran beleid tersebut sejatinya baik untuk pengembangan produksi pendingin udara domestik.
Hanya saja, dia tidak memungkiri jika implementasi pembatasan impor AC siap pakai bakal dipandang sulit oleh importir yang belum mampu merakit komponen di dalam negeri.
“Jika sosialisasi cukup seharusnya tidak ada masalah. Mungkin bisa diatur masa transisinya selama beberapa bulan agar mereka siap menjalankan komitmen untuk merakit di dalam negeri dan mengurangi importasi produk built up,” kata Tekno kepada Bisnis, Selasa (10/11/2020).
Tekno pun menyebutkan bahwa nilai keekonomian produksi AC di dalam negeri masih kalah saing jika dibandingkan di negara lain. Dia mengatakan produksi AC di sejumlah basis produksi cenderung lebih murah sehingga impor produk jadi masih marak dilakukan.
“Mungkin bagi perusahaan yang belum siap merakit komponen ini dirasa sulit sehingga penjualan terganggu, jadi yang terpenting adalah sosialisasi dan bagaimana komitmen mereka untuk memproduksi di dalam negeri,” lanjutnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Perdagangan Benny Soetrisno meyakini bahwa beleid ini dikeluarkan untuk melindungi industri di dalam negeri dan merupakan salah satu langkah untuk menekan impor barang konsumsi.
Meski pelaku usaha menyebutkan bahwa pasokan AC di dalam negeri didominasi produk impor, Benny mengaku sangsi dan meyakini bahwa produsen di dalam negeri juga memiliki pangsa yang cukup besar.
“Setahu saya AC rumah tangga sudah mulai diproduksi di dalam negeri, bahkan untuk bea masuk produk jadi lebih mahal dibandingkan impor komponennya. Kebijakan ini kan dikeluarkan untuk menekan impor barang konsumsi. Kita juga perlu atur devisa kita,” kata Benny saat dihubungi.
Dia pun berpandangan pengendalian impor lewat Persetujuan Impor (PI) merupakan langkah yang telah tepat dilakukan.
Terkait reaksi dari perwakilan negara sahabat yang keberatan dengan penerbitan beleid karena menimbulkan kerugian, Benny mengatakan hal tersebut lumrah terjadi dalam perdagangan dan tak perlu dikhawatirkan.
“Reaksi seperti ini biasa kita terima dan itu normal. Misal dari perwakilan Jepang tentu mereka juga ingin melindungi perusahaannya yang berada di sini,” lanjutnya.
Dalam salinan surat dari Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia yang ditujukan kepada Kementerian Perdagangan yang diterima Bisnis, Duta Besar Masafumi Ishii mempertanyakan PI yang tak kunjung terbit meski perusahaan Jepang telah mengajukan permohonan sejak Permendag Nomor 68 Tahun 2020 diterbitkan.
Keterlambatan penerbitan PI ini dipandang berpengaruh negatif pada bisnis perusahaan dan mitra usaha terkait, terutama usaha UMKM yang memberi jasa penjualan dan instalasi AC.
“Perlu pula menjadi catatan bahwa perubahan regulasi yang mendadak kemungkinan bisa membuat investor Jepang ragu-ragu untuk menanamkan modal di Indonesia. Oleh karena itu, kami meminta Kementerian Perdagangan menerbitkan PI sesegera mungkin atau memberlakukan masa tenggang dengan memberlakukan aturan lama untuk sementara,” tulis Duta Besar Ishii dalam surat tertanggal 15 Oktober tersebut.
Implementasi beleid ini sendiri terbilang cukup cepat. Permendag 68 Tahun 2020 tercatat diundangkan pada 25 Agustus dan mulai berlaku 3 hari setelahnya atau pada 28 Agustus.