Bisnis Perkantoran Sesak Napas Ditekan Pandemi Covid-19. Judul ini -sesuai dengan isi beritanya di Bisnis Indonesia- sedikitnya menggambarkan kondisi bisnis persewaan properti saat ini. Gedung-gedung perkantoran sepi, di tinggal penyewa yang menjaga jarak dan karyawan yang harus work from home. Sementara yang masih bertahan meminta negosiasi tarif sewa.
Seluruh matriks kinerja perkantoran di Jakarta dilaporkan negatif, menyusul aktivitas penyewaan yang tersendat. Bisnishotel apalagi, manajemen harus putar otak untuk menjaga okupansi di kala pandemi. Bahkan, sejumlah hotel BUMN dipaksa mengubah konsep menjadi instalasi rawat inap pasien Covid-19.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di banyak negara. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat, perusahaan properti D. Alexander menawarkan promo “Destination Isolation” bagi keluarga yang membutuhkan hunian mewah untuk karantina mandiri.
Ini bukan bakti sosial, karena motifnya murni komersialisasi aset menganggur. Mengutip Forbes, perusahaan properti yang berbasis di Florida (Amerika Serikat) itu mengubah target pasarnya menjadi pasien Covid-19 yang mencari tempat isolasi nyaman. Sebuah terobosan di tengah kejatuhan bisnis hunian akibat resesi dan pandemi.
Kalau melihat kalender, setidaknya sudah hampir sembilan bulan Covid-19 merebak di Indonesia. Selama itu pula beberapa kali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan di sejumlah wilayah, terutama di Ibu Kota.
Berbagai kebijakan stimulus ekonomi juga telah dan terus diupayakan pemerintah. Salah satu dan yang utama adalah insentif perpajakan yang mencakup hampir semua lapisan masyarakat dan lini usaha.
Namun, selalu saja ada yang terasa kurang kalau kita bicara soal kebijakan. Misalnya, dukungan perpajakan bagi pelaku industri properti, khususnya bisnis persewaan ruangan. Satu hal yang nyaris luput adalah terkait dengan rencana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengevaluasi kebijakan PPh Final atas sewa tanah dan bangunan. Dalam Laporan Kinerja DJP 2019, pengenaan PPh final atas sewa tanah dan bangunan dipandang perlu untuk dikaji ulang penerapannya.
Alasannya, karena implementasinya di lapangan rentan multitafsir. Karenanya, evaluasi diperlukan agar tercipta iklim perpajakan yang berkepastian hukum.
Isu tersebut dalam perkembangannya menjadi salah satu fokus kebijakan teknis perpajakan 2020 yang kemudian diwacanakan sebagai rencana penurunan tarif PPh Final atas sewa tanah dan bangunan.
Sebelumnya, kita perlu menilik kembali kebijakan tarif PPh final atas sewa tanah dan bangunan saat ini. Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017, PPh yang bersifat final dikenakan terhadap penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri. Adapun besaran tarif PPh final tersebut ditetapkan sebesar 10% dari pendapatan bruto.
Lantas, berapa idealnya besaran tarif PPh final atas sewa tanah dan bangunan? Kalau menggunakan hitung-hitungan sederhana, ketika tarif PPh final 10% mulai diterapkan, pemerintah secara tidak langsung telah mematok rata-rata net profit margin atau rasio laba bersih terhadap pendapatan dari usaha persewaan tanah dan bangunan adalah 33% per tahun. Angka tersebut dapat dilihat pada penetapan tarif PPh final 10% atas sewa tanah dan bangunan, ketika tarif PPh Badan masih 30%.
Melalui UU No. 2 Tahun 2020, tarif PPh Badan telah dipangkas menjadi 22% untuk tahun 2020 dan 2021, kemudian turun lagi menjadi 20% mulai tahun 2022. Apabila menggunakan asumsi yang sama (net profit 33%) maka seharusnya tarif PPh final atas sewa tanah dan bangunan turun menjadi sekitar 7% (=22% x 33%) mulai tahun 2020 dan turun lagi menjadi sekitar 6% (=20% x 33%) mulai tahun 2022.
Serba Susah
Hitung-hitungan di atas tentu saja dengan asumsi dalam kondisi normal. Beda halnya dengan kondisi saat ini yang serba abnormal. Apalagi kalau bukan karena pandemi Covid-19 yang dampaknya benar-benar dahsyat. Kalau mau diukur dengan angka, yang pasti pertumbuhan jumlah kasus positif dan orang yang meninggal karena Covid-19 sangat berbanding terbalik dengan resesi ekonomi yang terjadi.
Dalam konteks evaluasi tarif PPh final atas sewa tanah dan bangunan, mungkin data tingkat keterisian ruang perkantoran juga harus menjadi salah satu indikator yang pas untuk menggambarkan kondisi bisnis persewaan properti.
Berdasarkan laporan riset Cushman and Wakefield Indonesia, tidak ada transaksi persewaan ruang pada hampir seluruh bangunan perkantoran di Jakarta sejak pagebluk Covid-19, terutama pada bulan April dan Mei 2020. Konsultan properti global tersebut mencatat, hinga akhir Juni 2020, tingkat hunian perkantoran CBD Jakarta seluruh grade mengalami penurunan menjadi 74,2%.
Konsultan properti internasional Colliers International juga mengungkap tren penurunan occupancy rate ruang perkantorandi kawasan pusat bisnis (CBD) di sejumlah kota besar Indonesia. Berdasarkan hasil risetnya, tingkat okupansi ruang perkantoran di kawasan CBD sepanjang paruh pertama tahun ini, turun sekitar 1,4% menjadi 82,3%.
Penurunan diprediksi berlanjut pada semester II 2020, dengan estimasi minus 2% di akhir tahun. Bahkan pada tahun 2021, tingkat okupansi ruang perkantoran di CBD diperkirakan anjlok 78,3%, yang merupakan level terendah dalam 20 tahun terakhir atau sejak risis finansial Asia pada 1999.
Melihat suplai ruang perkantoran yang masih sangat banyak dan belum terserap pasar, mungkin menunda ekspansi hingga kondisi perekonomian membaik menjadi langkah bijak bagi pelaku usaha bisnis sewa ruang. Karenanya, dibutuhkan dukungan lebih dari pemerintah agar mereka dapat bertahan dari tekanan krisis ekonomi dan pandemi, yang tak seorang pun tahu kapan akan berakhir.
Dengan kondisi yang serba susah seperti sekarang, mungkin menjadi kurang fair jika asumsi net profit 33% masih dijadikan dasar penetapan tarif PPh final yang baru atas sewa tanah dan bangunan. Sudah pasti potensi keuntungan yang bakal diterima pengusaha persewaan properti turun drastis seiring dengan anjloknya permintaan. Untuk itu, idealnya tarif PPh final dipangkas dari 10% menjadi lebih rendah dari 6%.
Pertanyaannya kemudian, kapan sebaiknya pemangkasan tarif PPh Final dilakukan?
Melihat kondisi ekonomi dan sosial yang jauh dari kata normal, saat ini mungkin waktu yang sangat tepat bagi pemerintah untuk memangkas tarif PPh final, khususnya atas sewa tanah dan bangunan. Sesuai janji DJP, evaluasi kebijakan memang harus dilakukan tahun 2020, yang sejatinya tinggal menyisakan waktu sekitar sebulan.
Dengan kata lain, saat ini momentumnya tidak hanya tepat, tapi memang menuntut pemerintah melakukan kebijakan extra ordinary secara cepat, tepat, dan akurat.
Tiga kata terakhir sejatinya tidak hanya untuk pemangkasan tarif PPf final, tetapi wajib hukumnya bagi semua kebijakan. Terlebih di tengah resesi, pandemi, dan riuhnya penolakan publik atas pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang terkesan tergesa-gesa dan kurang terbuka.