Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia berpeluang menggeser Thailand sebagai negara pengguna fasilitas GSP terbesar menyusul dicabutnya sebagian fasilitas tersebut untuk Negeri Gajah Putih.
Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Muhammad Lutfi mengemukakan AS telah mencabut fasilitas preferensi umum atau Generalized System of Preferences (GSP) pada 804 pos tarif produk Thailand.
Jumlah tersebut setara dengan nilai US$2,4 miliar atau 50 persen dari total nilai ekspor Thailand yang menggunakan fasilitas keringanan bea masuk.
“Ketika kita mendapat kepastian kembali mendapat fasilitas GSP, Thailand justru kehilangan fasilitas untuk 804 pos tarif atau setara dengan US$2,4 miliar atau 50 persen dari fasilitas yang mereka nikmati selama ini,” kata Lutfi dalam konferensi pers virtual, Senin (2/11/2020).
Selama periode Januari-Agustus 2020, Indonesia tercatat menjadi negara terbesar kedua yang memanfaatkan GSP dengan nilai US$1,87 miliar. Sebaliknya, Thailand menduduki peringkat pertama dengan nilai US$2,6 miliar.
Thailand juga tercatat menjadi pengguna GSP terbesar sepanjang 2019 dengan total ekspor mencapai US$4,8 miliar. Indonesia menyusul di peringkat ketiga dengan nilai US$2,7 miliar jika merujuk pada data statistik AS.
Baca Juga
“Jadi mestinya setelah ini Indonesia akan menjadi pengguna GSP terbesar karena saat ini Indonesia menempati peringkat kedua dan Thailand dipotong sebagian fasilitasnya,” lanjutnya.
Lutfi menjelaskan produk Indonesia yang bisa digenjot ekspornya dengan memanfaatkan fasilitas ini adalah produk suku cadang otomotif, panel elektronik, porselen, dan perhiasan.
Produk-produk tersebut sebelumnya banyak diekspor oleh negara-negara yang kini kehilangan eligibilitas sebagai penerima GSP seperti India dan Turki.
Selain produk otomotif, Lutfi menambahkan peluang peningkatan ekspor juga datang untuk produk kayu dan furnitur.
Indonesia dia sebut bisa memanfaatkan momentum terganjalnya akses Vietnam setelah Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR) memulai penyelidikan penggunaan kayu ilegal pada produk yang diekspor ke AS.
“Dalam 1 sampai 2 tahun mendatang ekspor furnitur kita bisa tumbuh karena pesaing kita di Asean dituduh melakukan undervaluation mata uang dari kayu ilegalnya,” kata Lutfi.
Produk furnitur dan kayu masuk dalam 10 besar ekspor RI yang menggunakan fasilitas GSP. Sepanjang Januari-Agustus 2020, ekspor furnitur yang memanfaatkan GSP naik 221 persen menjadi US$243,1 juta dan ekspor produk kayu naik 75,8 persen menjadi US$168,1 juta.