Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah sepertinya tengah menghadapi dilema terkait dengan klausul kebijakan fiskal nasional dalam UU Cipta Kerja.
Sebab, pemerintah dan DPR beberapa kali mengutak-atik klausul tersebut, kendati UU Cipta Kerja telah disahkan dalam Sidang Paripurna, pekan lalu.
UU Cipta Kerja yang disahkan dalam Sidang Paripurna DPR 5 Oktober lalu itu terdiri dari 905 halaman, dan memuat pasal sisipan yakni Pasal 156A dan Pasal 156B.
Pasal sisipan tersebut berisi tentang kewenangan pemerintah pusat untuk mengintervensi penentuan tarif pajak dan retribusi daerah.
Bisnis menerima draf UU Cipta Kerja setebal 1.035 halaman. Dalam UU Cipta Kerja versi ini, klausul mengenai intervensi pemerintah pusat terhadap tarif pajak dan retribusi di daerah dihapus.
Hal inipun telah dikonfirmasi oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.
Baca Juga
Tak lama berselang, tepatnya pada Senin (12/10) malam, Bisnis kembali memeroleh draf UU Cipta Kerja dengan tebal 812 halaman. Draf versi ini kembali memuat Pasal 156A dan Pasal 156B. Hanya saja, diksi yang digunakan lebih halus dari 'intervensi' ke 'penyesuaian'.
Timbul tenggelamnya ‘pasal intervensi’ ini mengindikasikan bahwa antara pemerintah dan DPR cukup gamang. Pasalnya, klausul tersebut sempat mendapat penolakan deras dari daerah.
“Daerah menolak,” kata sumber Bisnis di internal pemerintah, Senin (12/10).
Saat dimintai tanggapan, Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan bahwa pajak dan retribusi daerah harus diletakkan dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah.
Alhasil, rencana pengaturan tersebut perlu dipikir secara perlahan. “Saya tidak bisa memberikan jawaban detail tetapi harus dilihat secara keseluruhan,” kata Febrio.
Kewenangan untuk melakukan intervensi oleh pemerintah pusat sebelumnya tertuang dalam draf UU Cipta Kerja yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat Sidang Paripurna pada 5 Oktober 2020.
Ketentuan itu tepatnya berada di bagian tentang kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan pajak dan retribusi. Ada dua bentuk intervensi yang bisa dilakukan oleh pemerintah pusat.
Pertama, mengubah tarif pajak dan tarif retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional.
Kedua, mengawasi dan mengevaluasi peraturan daerah (perda) mengenai pajak dan retribusi yang bagi pemerintah pusat dianggap menghambat ekosistem investasi dan kemudahan berusaha.
Saat melakukan pengawasan, sesuai UU Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR itu, menteri keuangan memiliki kekuasaan untuk mengevaluasi, baik rancangan peraturan daerah (Raperda) maupun perda existing.
Hasil evaluasi yang dilakukan oleh menteri keuangan dapat berupa persetujuan atau penolakan raperda. Artinya, jika kebijakan disetujui, daerah bisa langsung menetapkan kebijakan tersebut sebagai peraturan.
Sebaliknya, jika raperda ditolak oleh menteri keuangan, pemda dan DPRD wajib memperbaiki dan menyampaikan kembali ke pemerintah pusat.
Jika dalam 15 hari pemda belum mengubah perda (existing), menteri keuangan akan memberikan sanksi berupa penundaan pengalokasian dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH).
Di sisi lain, perubahan substansi tersebut melanggar UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU itu menyatakan bahwa sebuah rancangan UU (RUU) yang telah disepakati secara prinsip tidak bisa diubah substansinya.
Terkait dengan hal ini, Febrio tidak memberikan penjelasan secara rinci. Dia hanya mengatakan bahwa salah satu konsentrasi pemerintah pada saat ini adalah membangun hubungan dengan daerah melalui sinkronisasi dan berkesinambungan kebijakan untuk mendorong pembangunan nasional.
Pemerintah juga sudah memiliki instrumen desentralisasi fiskal melalui transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang menjadi bagian yang sangat besar bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kami masih perlu melihat sinkronisasi pertumbuhan ekonomi dan masing-masing daerah yang bisa digunakan dengan menyiapkan TKDD sebagai instrumen. Ini tujuan besarnya,” ujarnya.
Saat dihubungi, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi menolak memberikan komentar soal perubahan substansi dalam UU Cipta Kerja tersebut.
Sementara itu, Pengajar Ekonomi Universitas Diponegoro Wahyu Widodo mengatakan bahwa salah satu tujuan pemerintah mengintervensi dalam menentukan tarif dan retribusi daerah adalah untuk membuat tarif yang kompetitif di seluruh daerah sehingga mendukung daya saing ekonomi.
“Karena bagaimanapun harus ada level yang kompetitif di daerah baik itu tarif pajak atau retribusi daerah,” jelasnya.
Kendati demikian, Wahyu sepakat bahwa secara regulasi, intervensi dari pemerintah bertentangan dengan prinsip otonomi daerah atau desentraliasi.
Pasalnya, UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah mengatur dengan jelas soal tarif pajak dan retribusi ini sebagai konsekuensi dari otonomi daerah.
Namun selama ini, tidak sedikit daerah yang justru membuat kebijakan yang tidak kompetitif bagi perekonomian daerah sehingga berimbas pada perekonomian secara menyeluruh.
“Ini konsekuensi dari omnibus law, yang menggabungkan sekian banyak UU karena ada overlapping di dalamnya. Hal yang penting, menurut saya, adalah substansi ekonominya, yaitu perbaikan efisiensi ekonomi,” ujarnya