Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bank Tanah Masuk UU Cipta Kerja, Tujuan Hunian Rakyat Belum Terlihat

Bank tanah termauk yang disrebutkan dalam UU Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober 2020, tetapi belum terlihat secara spesifik pembentukannya diarahkan untuk penyediaan hunian untuk MBR dan warga perkotaan.
Pperumahan di Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat./Bisnis/Rachman
Pperumahan di Margaasih, Kabupaten Bandung, Jawa Barat./Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA – Pernyataan pemerintah akan membentuk bank tanah di UU Cipta Kerja layak diapresiasi, tetapi diprediksi masih jauh untuk direalisasi. Di sisi lain, belum tampak ada hal yang spesifik pembentukan bank tanah ditujukan untuk penyediaan hunian untuk rakyat.

Pembahasan bank tanah ini sebenarnya telah melalui perjalanan panjang hingga puluhan tahun. Oleh sebab itu, ketika bank tanah dimasukkan di UU Cipta Kerja yang disahkan sepekan lalu, pengamat bisnis properti Ali Tranghanda pun mengapresiasinya.

“Namun, itu [penyebutan bank tanah di UU Cipa Kerja] masih sangat terbatas. Saya melihat perealisasiannya masih jauh,” kata Ali kepada Bisnis pada Senin (12/10/2020).

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch itu mengemukakan konsep bank tanah seharusnya dapat memberikan angin segar untuk pemenuhan kebutuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan masyarakat perkotaan.

Dengan bank tanah, artinya tanah-tanah yang ada dapat dikendalikan kenaikannya sehingga dimungkinkan masih dapat terjangkau. Konsep bank tanah menjadi salah satu instrumen untuk dapat mengendalikan harga tanah dan sempat juga diusulkan IPW.

Pasal mengenai bank tanah pada omnibus law tersebut dibahas pada pasal 125 sampai 130, dengan dibentuk oleh pemerintah pusat.

Paling sedikit 30 persen dari tanah negara dapat dialokasikan untuk bank tanah dan akan dikelola oleh badan pengawas. Dalam pelaksanaannya nanti, bank tanah diberikan hak pengelolaan dalam bentuk hak  guna  usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.

Namun, Ali mengaku belum melihat belum ada hal yang spesifik yang ditujukan untuk penyediaan hunian untuk rakyat.

Dia menilai perlu ada pembahasan dan pasal tersendiri yang menyangkut ketersediaan bank tanah untuk hunian MBR dan masyarakat perkotaan. mengingat saat ini bank tanah lebih diarahkan terkait dengan penyediaan tanah untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, serta untuk mendukung investasi bagi kawasan ekonomi khusus (KEK) dan industri.

Sehubungan dengan hal tersebut, lanjutnya, bank tanah untuk perumahan sebaiknya berada di bawah badan perumahan dan tidak digabung dengan dewan pengawas bank tanah.

Badan perumahan ini nantinya berada di bawah presiden, mengingat karakteristik perumahan yang lintas kementerian yakni Kementerian PUPR, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Sosial.

Ali mengemukakan bahwa bank tanah untuk hunian semestinya tidak hanya dari tanah negara yang sudah ada, melainkan juga harus melalui pembelian lahan.

“Bahkan harus diberdayakan lahan milik BUMN/BUMD untuk sebagian disiapkan sebagai bank tanah, termasuk tanah-tanah yang menjadi kewajiban pengembang swasta melalui hunian berimbang,” tuturnya.

Ali menambahkan tidak semua tanah untuk penyediaan hunian harus dengan hak pengelolaan. Hak pengelolaan menjadi bermanfaat, karena pemerintah dapat leluasa mengatur dengan baik penggunaan tanahnya agar terhindar dari spekulasi lahan, tetapi perlu penegasan lebih lanjut karena dalam UU Pokok Agraria tahun 1960 tak ada aturan mengenai hak pengelolaan.

Selanjutnya pasokan bank tanah yang ada, menurut pasal 137 akan dikelola dan diberikan kepada pemerintah pusat; pemerintah daerah; badan bank tanah; BUMN/BUMD dan badan hukum milik negara/daerah; atau badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.

Mengenai hal ini, Ali berpandangan bank tanah di daerah juga harus diperkuat karena akan sangat terkait pula dengan pemaduserasian dengan tata ruang setempat.

Dia menambahkan konsep bank tanah ini harus didorong agar masyarakat dapat memiliki hunian yang layak dengan harga tanah yang terkendali.

Selain itu, sampai saat ini Indonesia belum mempunyai road map dan blue print penyediaan hunian yang berakibat program-program perumahan berjalan masing-masing.

“Konsep bank tanah, kepemilikan asing, tabungan perumahan, dan lainnya masih menjadi kepingan puzzle yang belum terangkai dengan baik dalam sebuah perencanaan strategis hunian secara nasional,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper