Bisnis.com, JAKARTA - Pengusaha maskapai penerbangan menyambut positif dihilangkannya pasal mengenai batas minimal kepemilikan dan penguasaan pesawat dalam UU Cipta Kerja.
Langkah ini disebut membuat regulasi dapat lebih adaptif terhadap perubahan yang terjadi pada industri penerbangan.
Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA) Denon Prawiraatmadja mengatakan langkah pemerintah menghapuskan peraturan yang sifatnya teknis dari UU merupakan langkah yang tepat.
Pasalnya, regulasi menjadi dapat lebih adaptif di berbagai situasi yang dihadapi industri.
"Supaya aturan pemerintah itu lebih adaptif terhadap situasi, spiritnya itu, kalau tidak ada batas minimal setiap badan usaha bisa mengajukan izin, silakan saja. Kenapa dahulu dibatasi? Aturan itu merespon situasi atas dasar kepemilikan minimal, sekarang situasinya diharapkan dengan aturan yang adaptif," jelasnya kepada Bisnis, Jumat (9/10/2020).
Lebih lanjut, adaptasi tersebut dapat dilakukan regulasi ketika menghadapi tantangan geografis serta perubahan model bisnis maskapai nasional terus terjadi.
Baca Juga
Menurutnya, sebagai negara kepulauan, transportasi udara Indonesia tak murni sepenuhnya bisnis, ada public service obligation (PSO) dari pemerintah sehingga turut campur pemerintah akan terus dibutuhkan.
Dengan demikian, supaya swasta dapat membantu pemerintah mendukung konektivitas penumpang dan logistik dibuatlah rezim aturan yang lebih adaptif.
Direktur Utama Whitesky Aviation ini menegaskan salah satu alasan dihilangkannya aturan minimal kepemilikan pesawat merupakan langkah kemajuan setelah Indonesia memiliki catatan keselamatan penerbangan yang baik.
Dia bercerita ketika UU No.1/2009 tentang Penerbangan memuat aturan batas minimal kepemilikan pesawat, Indonesia dihadapkan pada rezim perang tarif yang berujung pada keselamatan penerbangan yang dikorbankan. Batas minimal kepemilikan ini membuat maskapai menjadi tersortir dan meningkatkan pelayanan dan standar keselamatannya.
"Saat ini level keselamatan penerbangan Indonesia kategori 1. Level Indonesia sudah melampaui standar ICAO 84,3 persen, scoring Indonesia butuh beberapa tahun capai passing grade itu. Dahulu dibatasi karena Indonesia saat itu belum bertemu dengan standar minimal dari ICAO, belum masuk FAA dan masih dilarang terbang masuk Eropa," ujarnya.
Dengan demikian, paparnya, ketika standar keselamatan Indonesia sudah diakui secara internasional. Hal ini menjadi pencapaian sekaligus membuat ketentuan tersebut dapat dibuat lebih adaptif, sehingga investasi di sektor maskapai ini dapat meningkat.
Dia menuturkan ketika rezim regulasi baru membuat banyak maskapai muncul tentu akan muncul persaingan usaha. Dengan standar keselamatan yang sudah baik, persaingan usaha tersebut terangnya mengarah pada kualitas pelayanan bukan lagi sekedar perang tarif.
"Semakin banyak pemain yang inovatif tentu ini dampak langsungnya meningkatkan tingkat pelayanan. Logika sederhananya, tapi kualitas layanan ini juga tidak serta merta meningkat dari jumlah pemainnya," katanya.
Selain itu, ketika Indonesia sudah memenuhi persyaratan dan patuh terhadap aturan-aturan internasional, justru membuat maskapai lebih objektif menentukan tingkat pelayanan maskapai dengan dibukanya kompetisi.