Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RUU Ciptaker Klaster Tenaga Kerja Tuntas Dibahas, Apa Dampaknya bagi Pekerja?

Terakhir pada Senin, 28 September 2020, rapat panitia kerja antar Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah telah menyelesaikan seluruh pembahasan lebih dari 7.000 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada RUU ini.
Massa dari berbagai elemen melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (16/7/2020). Aksi yang dihadiri oleh buruh dan mahasiswa itu menuntut DPR untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja./Antara
Massa dari berbagai elemen melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (16/7/2020). Aksi yang dihadiri oleh buruh dan mahasiswa itu menuntut DPR untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja./Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja atau RUU Cipta Kerja memasuki tahap final.

Terakhir pada Senin, 28 September 2020, rapat panitia kerja antar Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah telah menyelesaikan seluruh pembahasan lebih dari 7.000 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada RUU ini.

Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas mengakui tidak 100 persen masukan dari berbagai pihak bisa terakomodir. Tapi dalam hitungannya, mungkin sudah bisa mencapai 90 persen.

"Oleh karena itu, saya sekali lagi menyampaikan permohonan maaf," kata Supratman, dikutip dari Tempo.co, Jumat (2/10/2020).

Dalam RUU ini, salah satu yang menjadi pembahasan utama ada pada kluster ketenagakerjaan. Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang menjadi perwakilan pemerintah menjabarkan 7 substansi pokok perubahan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja.

Berikut rincian dari 7 substansi tersebut:

  1. Pesangon

Dalam UU Ketenagakerjaan, aturan soal pesangon PHK yang sebanyak 32 kali upah dinilai sangat memberatkan pelaku usaha sehingga mengurangi minat investor untuk berinvestasi.

Dalam RUU Cipta Kerja, ada penyesuaian perhitungan besaran pesangon. Di dalamnya, pemerintah menambah program baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JPK).

Dalam perkembangan terakhir, panitia kerja sepakat bahwa pesangon 32 kali ini dihapus. Sebagai gantinya akan ada sistem campuran yakni 23 akan ditanggung perusahaan dan 9 ditanggung pemerintah

"Dalam bentuk jaminan kehilangan pekerjaan," kata Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi selepas rapat panitia kerja, Senin (28/9/2020).

  1. Upah Minimum

Dalam UU Ketenagakerjaan, upah minimum dapat ditangguhkan sehingga, banyak pekerja atau buruh yang dapat menerima upah di bawah upah minimum. Peraturan upah minimum juga tidak dapat diterapkan pada usaha kecil dan mikro.

Kemudian, kenaikan formula upah minimum menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Dalam RUU Cipta Kerja, upah minimum tidak dapat ditangguhkan. Perhitungan kenaikan upah minimum diganti dengan acuan pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas.

Selanjutnya, basis upah pada tingkat provinsi alias Upah Minimum Provinsi (UMP) dan dapat ditetapkan pada kabupaten atau kota, dengan syarat tertentu. Artinya, tetap ada peluang munculnya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Sementara untuk UMKM, akan ada upah tersendiri.

  1. Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Dalam UU Ketenagakerjaan, tidak ada program ini sama sekali. Padahal, jaminan ini dinilai perlu pada saat pandemi Covid-19 ini.

Dalam RUU Cipta Kerja, ada perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK. Ada tiga manfaat yaitu cash benefit, vocational training, dan job placement access.

Pekerja yang mendapatkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan ini akan tetap mendapatkan lima jaminan sosial lainnya di BP Jamsostek maupun BPJS Kesehatan.

Rinciannya yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kematian (JT), dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

  1. Pekerja Kontrak

Dalam UU Ketenagakerjaan, pekerja kontrak yang berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) belum diberikan perlindungan yang sama, seperti halnya pekerja tetap.

Selain itu, dalam pasal 59 ayat 1 UU Ketenagakerjaan, status PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.

Adapun di RUU Cipta Kerja, pasal 59 ini dihapus.

Sebagai gantinya, dalam RUU Cipta Kerja, pekerja kontrak akan diberikan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap antara lain dalam hal upah hingga jaminan sosial.

Pengaturan ini terjadi karena revolusi industri 4.0 membuat lahirnya pekerja baru yang bersifat kontrak.

  1. Waktu Kerja

Dalam UU Ketenagakerjaan, waktu kerja ditetapkan secara rigid yaitu 7 jam per hari dan 40 jam per minggu (untuk 6 hari kerja). Lalu, 8 jam per hari dan 40 jam per minggu (untuk 5 hari kerja).

Dalam RUU Cipta Kerja, aturan 5 dan 6 jam ini dihapus. Hanya ada ketentuan waktu kerja paling lama 8 jam per hari dan 40 jam per minggu.

Ini terjadi karena ada pekerjaan khusus yang waktunya dapat kurang dari 8 jam, seperti pekerja paruh waktu dan pekerja digital. Hal ini juga terjadi pada pekerjaan di atas 8 jam seperti minyak dan gas, pertambangan, perkebunan, pertanian, dan perikanan.

  1. Tenaga Kerja Asing

Dalam UU Ketenagakerjaan, Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) wajib bagi semua TKA. Kondisi ini dinilai menghambat masuknya TKA ahli yang diperlukan dalam keadaan mendesak (darurat). Sehingga, ini menghambat masuknya calon investor.

Dalam RUU Cipta Kerja, ada kemudahan RPTKA untuk TKA ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu. Contohnya untuk maintenance (darurat), vokasi, peneliti, hingga investor.

  1. Outsourcing

Dalam UU Ketenagakerjaan, tenaga outsourcing hanya dibatasi untuk jenis kegiatan tertentu. Selain itu, belum ada penegasan atas kesamaan jaminan hak dan perlindungan bagi pekerja di kelompok ini.

Dalam RUU Cipta Kerja, tenaga alih daya sebenarnya merupakan bentuk hubungan Business to Business (B2B). Tapi dalam RUU ini, perusahaan penyedia jasa outsourcing wajib memberikan hak dan perlindungan yang sama bagi pekerjanya.

Perlindungan yang dimaksud antara lain soal upah, jaminan sosial, hingga perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Di luar ketujuh substansi di kluster ketenagakerjaan ini, sejumlah aturan lain juga sebenarnya telah disepakati seperti kawasan ekonomi hingga sertifikasi halal. Tapi dengan selesainya pembahasan DIM pada 28 September 2020, maka berakhirlah pembahasan di tingkat II.

Selanjutnya, RUU ini akan dibahas di Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi yang dipimpin Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya. Setelah itu, hasilnya akan dibawa kembali dalam rapat panitia kerja antara Baleg dan pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Newswire
Sumber : Tempo.co
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper