Bisnis.com, JAKARTA — Penyusunan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dinilai perlu membuka kesempatan yang lebih luas untuk perusahaan kelompok RE100 untuk berpartisipasi dalam pengembangan EBT.
Kelompok RE100 merupakan kelompok perusahaan yang berkomitmen untuk menggunakan 100 persen energi terbarukan bagi kegiatan operasional mereka, termasuk di dalamnya perusahaan global yang memiliki operasional di Indonesia hingga yang memiliki rantai pasok di Indonesia.
Pendiri Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI) Eddie Widiono mengatakan bahwa saat ini terdapat sekitar 255 perusahaan global yang telah berkomitmen untuk menggunakan 100 persen energi terbarukan dengan total konsumsi energi listrik sekitar 228 TWh atau hampir setara dengan kebutuhan listrik Indonesia.
"Pertumbuhan tiap tahunnya ada 40—50 perusahaan baru masuk dan pertumbuhan terbesar di Asia, yakni Jepang, Korea, China. Ini berbondong-bondong masuk ke dalam kelompok RE100 yang menargetkan 100 persen renewable sebelum 2050. Bahkan, rata-rata mereka mengharapkan 2028 sudah capai 100 persen," ujar Eddie dalam webinar Urgensi Pembentukan RUU Energi Baru dan Terbarukan, Senin (28/9/2020).
Menurut Eddie, besarnya potensi kebutuhan EBT dari perusahaan RE100 tersebut perlu diakomodasi dalam penyusunan RUU EBT.
Beberapa aspek restrukturisasi regulasi yang perlu diakomodasi meliputi, pertama, terkait Renewable Energy Certificates (REC). REC diterbitkan dengan suatu mekanisme tertentu, umumnya setiap 1 MWh produksi listrik EBT akan menghasilkan satu sertifikat. Pelanggan dapat membeli REC secara bundled bersamaan dengan energi listrik, atau unbundled di mana hanya membeli sertifikat tanpa energi.
Baca Juga
Kedua, green tariff. Eddie mengatakan bahwa PLN dan wilayah usaha dapat merancang struktur green tariff, tetapi tidak memiliki justifikasi green tariff apabila pembangkitan EBT skalanya masih sangat kecil dan tidak terhubung ke pusat beban.
Ketiga, direct power purchase agreement. Struktur industri ketenagalistrikan tidak memungkinkan perusahaan RE100 untuk memiliki direct PPA dengan produsen EBT karena PLN masih bertindak sebagai single buyer bagi produsen listrik swasta.
Keempat, terkait dengan self generation. Menurutnya, yang paling mungkin dilakukan oleh perusahaan RE100 adalah melalui self generation melalui PLTS atap. Akan tetapi, ruang gerak PLTS atap berbanding dengan kebutuhan energi perusahaan-perusahaan ini terlalu jauh.
"Empat aspek ini belum mendapat tempat dalam regulasi di Indonesia secara kokoh sehingga perkembangannya jadi sangat lambat," kata Eddie.