Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM F.X. Sujiastoto memaparkan sejumlah kendala dalam pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia.
Salah satu penghambat pengembangan energi baru terbarukan (EBT) adalah masih tingginya harga listrik dari pembangkit EBT. Hal ini disebabkan pasar EBT di Indonesia masih kecil dan belum mencapai skala keekonomiannya.
"Misal, di panas bumi, mungkin kita hanya ngebor 1—2 sumur. Mendatangkan rig-nya itu jadi mahal. Nah, kalau ini masif, cost-nya juga akan turun," ujar Sujiastoto dalam webinar Urgensi Pembentukan RUU Energi Baru dan Terbarukan, Senin (28/9/2020).
Contoh lainnya, dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Sujiastoto mengungkapkan bahwa saat ini pabrikan di Indonesia masih mengimpor sel surya (solar cell) untuk kemudian dirakit menjadi solar panel. Adapun, pengembangan PLTS di Indonesia masih terbatas dalam skala kecil sehingga membuat harga panel surya menjadi mahal.
Oleh karena itu, dalam tahap awal pengembangan EBT sangat diperlukan dukungan dari pemerintah berupa pemberian insentif. Hanya saja, kata Sujiastoto, pemberian insentif ini tidak mudah dalam pelaksanaannya karena harus memperhatikan kemampuan pendanaan untuk insentif.
Di sisi lain, harga EBT yang relatif tinggi juga harus bersaing dengan harga listrik pembangkit berbahan bakar energi fosil yang masih disubsidi. Menurut Sujiastoto, harga listrik energi fosil nampak murah karena tidak memasukkan komponen biaya lingkungan.
Baca Juga
"Terus terang dalam ekonomi fosil saat ini, biaya lingkungan ditanggung konsumen. Artinya, biaya eksternal itu tidak dimasukkan dalam biaya pengelolaan energi sehingga kelihatannya murah, tetapi cost lingkungan ini signifikan," katanya.
Dia pun berharap agar persoalan-persoalan tersebut mampu diakomodasi dalam penyusunan Rancangan Undang-undang EBT. RUU tersebut diharapkan mampu memformulasikan kebijakan harga dan insentif dengan baik sehingga harga keekonomian EBT mampu tercapai.
Guna mewujudkan keterjangkauan harga EBT, saat ini Kementerian ESDM tengah menyiapkan peraturan presiden mengenai pengaturan tarif baru pembangkit EBT.
Sujiastoto mengatakan bahwa dalam rancangan perpres tersebut pemerintah akan memberin kompensasi bila harga keekonomian EBT masih di atas biaya pokok penyediaan listrik nasional.
"Perpres ini masih terbatas karena kungkungan UU yang lain di luar EBT masih sangat besar sekali. Perpres tidak bisa menembus UU. Ini harapan bagi kami landasan awal melalui perpres ini yang nanti akan dibuat melalui UU EBT," katanya.