Wacana penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Reformasi Sistim Keuangan telah bergulir sejak awal bulan ini. Seiring dengan penjelasan resmi pemerintah melalui Menteri Keuangan mengenai materi aturan tersebut berupa lima hal usulan penguatan sektor keuangan, beragam pendapat dan pandangan bermunculan.
Ada yang dengan tepat secara fokus membahas butir-butir usulan Perppu. Namun tidak sedikit pula yang bahasannya melebar menjadi rancu karena tercampur dengan materi rancangan undang-undang (RUU) Bank Indonesia.
Padahal jika dicermati keduanya merupakan produk hukum yang berbeda, baik dari sisi rute legislasi yang dilalui maupun tujuan dan urgensi penerbitannya.
Dari apa yang disampaikan Menteri Keuangan, lima hal usulan penguatan sektor keuangan dimaksud adalah penguatan dari sisi basis data dan informasi yang terintegrasi antar lembaga; evaluasi bersama yang menjadi dasar bagi lembaga otoritas dalam menentukan langkah antisipatif penanganan berikutnya dalam hal ditemukan indikasi permasalahan; penguatan dari sisi instrumen yang bisa digunakan di sektor perbankan; penguatan dari sisi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) serta kepastian hukum dan penguatan dari sisi pengambilan keputusan.
Dari substansi yang disampaikan dapat terlihat bahwa titik berat dari Perppu ini adalah memperkuat protokol dan prosedur pencegahan dan penanganan krisis sistim keuangan untuk mengantisipasi terjadinya krisis perbankan, karena pemburukan kualitas kredit debitur sebagai akibat langsung dari pandemi Covid-19.
Jika dilihat ke belakang, Indonesia pernah mengalami krisis sistim keuangan terburuk (krisis moneter) pada 1997-1998 seiring dengan terjadinya krisis keuangan Asia. Pada saat itu rasio kredit macet mencapai 48,6% dari total kredit dalam sistim perbankan.
Akibatnya pecah krisis perbankan dimana 67 bank swasta nasional ditutup (bank berhenti operasi/BBO dan bank berhenti kegiatan usaha/ BBKU), 12 bank swasta nasional diambil alih (bank take over/BTO), dan 26 bank di Rekapitalisasi yang terdiri dari 7 bank milik negara, 7 bank swasta nasional dan 12 Bank Pembangunan Daerah.
Untuk menanganinya, pemerintah membentuk lembaga khusus yang disebut Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1999. Sesuai dengan mandat yang diberikan, BPPN memiliki tugas berupa penyehatan bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia (bank dalam penyehatan), penyelesaian aset bank dalam penyehatan, baik berupa aset fisik maupun kewajiban debitur dan pengupayaan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank dalam penyehatan.
Dapat terlihat disini bahwa pada saat terjadinya krisis moneter 1998 itu, praktis hanya ada dua institusi yang memiliki mandat untuk mencegah dan menangani krisis sistim keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI) dalam fungsinya sebagai otoritas pengawasan bank dan lender of the last resort serta BPPN yang melaksanakan fungsi resolusi bank, penyelesaian kredit macet serta sebagai pelaksana dari skema penjaminan kewajiban pihak ketiga bank.
Selain itu karena pada saat krisis moneter tersebut belum ada peraturan perundangan yang spesifik mengatur mengenai protokol dan prosedur penanganan krisis sistim keuangan, dasar hukum yang digunakan adalah keputusan-keputusan ad hoc sesuai subyeknya, baik yang diputuskan oleh Menteri Keuangan maupun melalui rapat Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang diketuai Menteri Koordinator Perekonomian.
Selanjutnya dengan mengambil pelajaran dari krisis moneter 1998 itu, dilakukan berbagai upaya untuk memperkuat sektor keuangan agar dapat mengantisipasi potensi terjadinya krisis serupa. Lahir kemudian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004 dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011.
Selain itu telah diterbitkan pula UU No. 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistim Keuangan (UU PPKSK). Setelah terbentuknya institusi-institusi baru ini maka sektor keuangan telah memiliki konfigurasi kelembagaan yang memadai untuk menghadapi krisis sistim keuangan yang akan terjadi.
OJK menjalankan fungsi sebagai otoritas pengawasan bank, LPS sebagai penjamin simpanan dan pelaksana resolusi bank serta BI sebagai lender of the last resort yang kesemuanya menjalankan peran dan fungsinya melalui koordinasi Komite Stabilisasi Sektor Keuangan (KSSK) sesuai UU No. 9 Tahun 2016.
Namun seiring dengan terjadinya pandemi global Covid-19 yang berdampak luas, dirasakan kebutuhan yang mendesak untuk memperkuat institusi sektor keuangan menghadapi ancaman krisis. Alhasil diterbitkan UU No. 2 Tahun 2020 yang antara lain memperluas kewenangan BI dalam pemberian pinjaman likuiditas yang diperlukan kepada bank sistemik dan selain bank sistemik serta memberikan akses yang lebih luas kepada LPS untuk memperoleh likuiditas yang diperlukan dalam penanganan bank gagal.
Adanya tambahan kewenangan dan akses pendanaan tersebut secara langsung akan meningkatkan kapasitas sistim keuangan dalam pencegahan dan penanganan krisis, sehingga sampai disini menjadi menarik untuk melihat sejauh mana sebetulnya urgensi penerbitan Perppu Reformasi Sistim Keuangan.
Dari penjelasan resmi pemerintah mengenai materi Perpu maka satu hal penting yang diharapkan dari penerbitan ini adalah perluasan wewenang LPS, selain yang telah diberikan oleh UU No.2 Tahun 2020 agar dapat melakukan early intervention kepada bank yang mengalami krisis likuiditas (fungsi sebagai risk minimizer).
Hal ini untuk menghindari guncangan dan sentimen negatif di pasar keuangan yang dalam banyak kasus dapat mempercepat terjadinya krisis. Belajar dari pengalaman krisis keuangan terdahulu, baik di Indonesia maupun di dunia, kecepatan dan ketepatan penanganan krisis pada tahap awal memang sangat berpengaruh dalam mengurangi dampak buruk yang diakibatkan oleh krisis secara keseluruhan.