Bisnis.com, JAKARTA - Tren transaksi gelap atau mencurigakan (TKM) terkait perpajakan terus naik selama pandemi Covid-19. Bahkan, terdapat indikasi tindak pidana perpajakan dalam setiap transaksi gelap tersebut.
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) selama Juni 2020 jumlah laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) perpajakan sebanyak 172 atau naik 67 persen dibandingkan Juni 2019 yang hanya 103 kasus.
Sementara jika dilihat secara kumulatif selama semester 1/2020, jumlah LTKM sebanyak 793 atau naik 6 persen dibandingkan semester 1/2020 yang hanya 748 kasus. Peningkatan jumlah LTKM ini terkonfirmasi dari kenaikan hasil analisis (HA) transaksi perpajakan dari 35 menjadi 50 atau naik 42,9 persen.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae tak menjelaskan hubungan kenaikan transaksi keuangan mencurigakan dengan pandemi Covid-19. Kendati demikian, dia mengonfirmasi bahwa transaksi mencurigakan terkait perpajakan meningkat cukup signifikan.
"Tindak pidana pajak ini kan masih dikategorikan berisiko tinggi pak. Jadi wajar kalau masih banyak pelaporannya. Kita koordinasi terus dengan Ditjen Pajak (DJP) untuk meningkatkan kepatuhan para wajib pajak," kata Dian saat dihubungi Bisnis, Senin (21/9/2020).
Dian menambahkan harus diakui secara keseluruhan LTKM yang diterima pada bulan Juni sebanyak 3.359 naik sebanyak 1.094 LTKM atau sekitar 67,4 persen dari penerimaan bulan Mei 2020 sebanyak 2.265 LTKM.
Baca Juga
Berdasarkan catatan PPATK, transaksi mencurigakan paling dominan terkait dengan dugaan tindak pidana dengan jumlah 1.793 laporan, korupsi 448, narkotika 290, terorisme 193 dan bidang perpajakan 172.
Meski jumlah transaksi mencurigakannya lebih rendah dibandingkan dengan tindak pidana penipuan, korupsi, narkotika maupun terorisme, secara nominal penerimaan negara yang dihasilkan dari hasil analisis atas transaksi mencurigakan di sektor perpajakan justru yang paling banyak.
Nilai penerimaan negara dari sektor perpajakan dari 2013 – 2019 tercatat senilai Rp8,07 triliun. "Itu data statistik laporan transaksi yang mencurigakan ya, belum tentu secara faktual akan menjadi kasus pidana," jelasnya.