Bisnis.com, JAKARTA — Bank Dunia mengidentifikasi sejumlah hambatan dalam pengembangan panas bumi di Indonesia.
Satu Kahkonen, World Bank Country Director for Indonesia and Timor Leste, mengatakan bahwa regulasi tarif menjadi salah satu hambatan utama dalam pengembangan panas bumi di Indonesia.
Menurutnya, Peraturan Menteri ESDM No. 50/2017 yang mengatur harga beli listrik panas bumi disesuaikan dengan biaya pokok penyediaan (BPP) daerah setempat membuat pembangkit panas bumi sulit bersaing dengan pembangkit batu bara yang harganya disubsidi pemerintah.
"Proyek panas bumi skala besar perlu tarif sekitar US$0,10—US$0,12 per kWh untuk memungkinkan pengembalian ekuitas yang memadai kepada pengembang, sedangkan rata-rata harga pembangkit batu bara di kisaran US$0,07—US$0,09 per kWh. Ini sangat sulit bagi panas bumi untuk masuk ke dalam pasar," kata Satu dalam acara Digital Indonesia International Geothermal Convention 2020, Selasa (8/9/2020).
Hambatan lain dalam pengembangan panas bumi adalah terkait proses tender dan perolehan izin pengembangan panas bumi.
Satu menilai skema perolehan izin pengembangan panas bumi melalui penugasan survei pendahuluan dan eksplorasi (PSPE) belum memberian insentif secara efektif terhadap aktivitas eskplorasi.
Baca Juga
"Hal ini karena setelah investor menghabiskan jutaan dolar untuk pengeboran eksplorasi, mereka tidak mendapat jaminan mereka mendapat hak untuk mengembangkan secara penuh proyek panas bumi tersebut. Mereka tetap harus bersaing dulu dengan pengembang lain untuk mengembangkan wilayah tersebut. Dengan kata lain investasinya terbuang," katanya.
Selain itu, ketidakpastian tarif panas bumi juga menjadi hambatan. Kurangnya kejelasan tentang pengaturan tarif perjanjian jual beli tenaga listrik membuat investor tidak yakin tentang kemungkinan mereka untuk memperoleh pengembalian investasi dari investasi eksplorasi panas bumi yang dilakukan.