Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan tengah menggencarkan promosi produk vanili bernilai tambah lewat para atase perdagangan dan Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) di luar negeri menyusul terkoreksinya harga vanili mentah.
“Hilirisasi dari pengolahan komoditas vanili, selain memberi nilai tambah dan meningkatkan daya saing, dapat memperbesar nilai ekspor vanili tanah air. Untuk itu, kami mengharapkan peran strategis dari Atase Perdagangan dan ITPC untuk mempromosikan produk-produk vanili bernilai tambah,” jelas Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kasan Muhri dalam keterangan resmi, Kamis (13/8/2020).
Saat ini, terdapat lebih dari 110 jenis tanaman vanili di dunia. Namun, yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman olahan serta sebagai komoditas ekspor Indonesia adalah jenis Vanilla Planifolia.
Menurut Direktur Pengembangan Produk Ekspor Olvy Andrianita, pengolahan vanili menjadi produk bernilai tambah seperti ekstrak, sari, oleoresin, maupun bubuk, dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kuliner. Selain itu, vanili juga dapat digunakan sebagai bahan baku kosmetik, parfum, herbal, dan minyak esensial.
“Selain hilirisasi, sertifikasi organik, keberlanjutan, ketertelusuran, dan transparansi, vanili Indonesia juga perlu dikenalkan kepada buyer potensial mancanegara, terutama di Uni Eropa yang pasarnya terus bertumbuh. Penguatan akses pasar dan peningkatan investasi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan perjanjian kerja sama perdagangan dengan negara akreditasi,” jelas Olvy.
Vanili kerap disebut sebagai emas hijau karena memiliki nilai ekonomis serta harga jual yang tinggi. Biji vanili mencapai harga tertinggi pada 2018, yakni US$650 per kilogram (kg). Sedangkan pada 2020, harga biji vanili terkoreksi menjadi US$200 per kg.
Baca Juga
“Kita harus mengembangkan produk turunan vanili, sehingga saat terjadi pelemahan harga, kita tetap dapat menjual bahkan mengekspor vanili. Harga vanili yang tinggi menyebabkan banyak orang melakukan budi daya vanili. Namun, jika harganya turun, petani memilih opsi menanam tanaman budi daya yang lebih menguntungkan,” jelas Chairman Vanilla Institute John Tumiwa yang juga menjabat sebagai ketua Dewan Vanili Indonesia.
Salah satu hal yang menjadi tantangan dalam mengembangkan produk vanili Indonesia adalah kecenderungan buyer membeli vanili dari pemasok yang sudah ada. Permasalahannya, ada beberapa eksportir Tanah Air yang kerap mencampur vanili Indonesia dengan vanili Papua Nugini sehingga profil rasanya tidak konsisten.
“Di samping itu, rendahnya kualitas biji vanili disebabkan tanaman yang dipanen dini. ‘Hama’ terbesar budi daya vanili adalah pencuri. Beberapa petani memilih memanen vanilinya lebih awal untuk menghindari pencurian tanaman,” papar John.
Pada periode 2015-2019, tren ekspor produk vanili Indonesia tercatat tumbuh positif sebesar 32,55 persen. Pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke-3 sebagai eksportir terbesar dunia setelah Madagaskar dan Prancis. Madagaskar menguasai 53,06 persen pangsa ekspor vanili dunia dengan ekspor sebesar US$573,17 juta.