Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mau Beli Rumah? Simak Dulu Tips Berikut Agar Tak Tertipu

Executive Director Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan konsumen properti perlu memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan kelengkapan dokumen.
Real Estate/huffingtonpost
Real Estate/huffingtonpost

Bisnis.com, JAKARTA - Tak dapat dipungkiri jika membeli properti, khususnya hunian dari pengembang bukan perkara yang mudah. Karena tidak sekadar mempertimbangkan kondisi bangunan, lokasi, dan kelengkapan dokumen untuk menghindari terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Executive Director Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan konsumen properti perlu memperhatikan beberapa hal yang berkaitan dengan kelengkapan dokumen. Selain mengenali jenis sertifikat yang diberikan bangunan yang dibeli, hal yang juga perlu diperhatikan adalah sertifikat induk dan izin mendirikan bangunan (IMB) yang dimiliki oleh pengembang.

Karena acapkali ditemukan pengembang, terutama yang berskala kecil atau baru terjun ke bisnis properti menggampangkan hal tersebut. Oleh karena itu, rekam jejak dari pengembang menjadi penting dan patut dipertimbangkan juga.

“Developer itu nggak segampang ya dipikirkan. Ada perusahaan atau perorangan yang punya lahan dan modal tiba-tiba jadi developer menggampangkan akhirnya gagal karena nggak paham properti. Maka dari itu, jangan sembarangan [pilih],” katanya ketika dihubungi oleh Bisnis belum lama ini.

Kemudian yang juga perlu diperhatikan adalah nama yang tercantum pada sertifikat induk atau satuan unit. Sebisa mungkin hindari properti yang masih menggunakan nama perorangan atau perusahaan pihak ketiga pada sertifikat tersebut.

“Ini perlu hati-hati karena biasanya ada yang nama perorangan juga. Kalau mau lebih aman atas nama perusahaan atau developer yang bersangkutan. Karena banyak itu biasanya developer kecil yang pakai nama pribadi. Hilang ya sudah nggak tahu bagaimana,” jelasnya.

Lebih lanjut, khusus untuk rumah susun atau apartemen yang harus benar-benar diperhatikan adalah status lahan yang dibangun. Karena banyak rumah susun atau apartemen, terutama yang berada di tengah kota berdiri di atas lahan dengan status Hak Pengelolaan (HPL) bukan merupakan hak atas tanah sebagaimana Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP).

Bangunan yang berdiri di atas lahan berstatus HPL berpotensi menimbulkan sengketa di kemudian hari. Demikian halnya dengan lahan yang statusnya kerjasama operasi (KSO) yang prosesnya belum selesai sepenuhnya.

“Ada potensi sengketa karena pemilik lahan bisa saja mengambil alih kembali lahan tersebut untuk mereka gunakan. Walapun kemungkinannya tak terlalu besar tetapi ada. Contoh apartemen lahan HPL ada di Mangga Dua milik PT Kereta Api dan Kemayoran di atas lahan Setneg (Sekretariat Negara),” ungkapnya.

Ali menambahkan kepastian terbitnya sertifikat hak satuan rumah (SHRS) atau strata title juga perlu diperhatikan. Pasalnya, banyak pengembang yang gagal dalam menyelesaikan masalah pertelaan atau besarnya bagian hak atas bagian bersama sebagai syarat dari penerbitan SHRS.

“Strata title atau SHRS itu harus melalui proses pertelaan ke Kantor Administrasi ATR/BPN (Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) dan makan waktu lama, lebih dari satu tahun. Bahkan ada yang sudah lima tahun nggak keluar-keluar,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rezha Hadyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper