Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Begini Perbandingan Pengembangan EBT Antara Indonesia dan India

India merupakan salah satu negara yang paling agresif di Asia dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT).  
Energi terbarukan/Istimewa
Energi terbarukan/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia masih tertinggal jauh dari India.  

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyebutkan bahwa India merupakan salah satu negara yang paling agresif di Asia dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT).  

Saat ini, India berada dalam peringkat kelima di dunia dengan kapasitas terpasang EBT dalam bauran EBT-nya mencapai 23,39 persen dari total kapasitas terpasang pembangkit 368,98 gigawatt (GW) pada akhir Februari 2020.  India memiliki target ambisius untuk melakukan ekspansi EBT sebesar 175 GW hingga 2022.

"Jadi, India sangat agresif mempersiapkan infrastruktur sedemikian mungkin sehingga investor itu bisa melakukan investasi mudah dan menghasilkan output energi yang murah," ujar Arifin dalam suatu webinar, Senin (10/8/2020).

Lebih lanjut, Menteri ESDM mengatakan bahwa India telah mampu mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan harga yang murah, yakni bisa mencapai sekitar US$0,033 per kWh.

"India sudah melakukan banyak program dan komitmen. Ini tentu saja ke depan akan mengurangi konsumsi gas dan batu bara.  Kita tahu, kita banyak ekspor batu bara ke India.  Ini juga membutuhkan satu pemikiran kita ke depan bagaimana kita bisa manfaatkan sumber-sumber energi kita," katanya.

Sementara itu, di Indonesia potensi EBT yang bisa dikembangkan cukup besar, mencapai 417,80 GW.  Namun, pemanfaatannya baru mencapai 2,50 persen atau 10,40 GW.  

Potensi terbesar yang bisa dikembangkan adalah PLTS yang mencapai 207,80 GW dengan sebaran utamanya di Kalimantan Barat, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, Sumatra Utara, dan Jawa Timur.  

Adapun, total kapasitas terpasang PLTS di Indonesia baru mencapai 150,20 MWp atau baru 0,07 persen dari potensi yang ada.  

Belum melajunya pengembangan EBT di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh faktor harga listrik dari pembangkit EBT yang masih mahal.  

Sebagai contoh, harga listrik dari pembangkit surya untuk kapasitas kurang dari 10 MWp berkisar US$10,19—US$25 sen per kWH, sedangkan untuk kapasitas di atas 10 MWp berkisar US$5,80—US$10,59 sen per kWh.

Oleh karena itu, Kementerian ESDM tengah menyiapkan regulasi untuk skema tarif listrik baru bagi pembangkit listrik EBT yang menarik bagi investor.  Aturan tersebut dituangkan dalam peraturan presiden.

"Tiap-tiap jenis sumber energi kapasitasnya kami bagi-bagi tarifnya.  Ada aturan setelah 12 tahun karena investasi sudah balik ada penyesuaian tarif kembali sehingga ke depan akan ada efek saling menguntungkan antara seller dan offtaker," kata Arifin.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Zufrizal
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper