Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan deflasi sebesar 0,10 persen secara month-to-month (mtm) pada Juli 2020, yang disebabkan oleh deflasi pada komponen harga bergejolak, seperti bawang merah, bawang putih, dan daging ayam ras.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan deflasi tersebut menunjukkan masih rendahnya daya beli masyarakat menengah serta menengah ke bawah sehingga tingkat permintaan komponen tersebut berkurang.
Sementara, BPS mencatatkan pendorong inflasi sepanjang Juli 2020 adalah inflasi inti yang didorong oleh kenaikan tarif pendidikan serta kenaikan harga emas.
"Tekanan inflasi yang rendah tersebut mengindikasikan tingkat konsumsi masyarat cenderung masih dalam tren menurun dari awal tahun hingga awal kuartal III/2020 ini," katanya kepada Bisnis, Senin (3/8/2020).
Josua menjelaskan, masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah terkena dampak yang signifikan dari kebijakan PSBB sehingga menyebabkan penurunan pengeluaran.
Sementara, perilaku konsumsi masyarakat berpenghasilan menengah ke atas juga menahan konsumsi dan bahkan cenderung menabung mempertimbangkan kondisi kasus Covid-19 yang masih dalam tren meningkat.
Baca Juga
Menurutnya, tingkat inflasi masih rendah per Juli 2020 juga menunjukkan perilaku konsumen masih tetap menunda belanja meski beberapa pemerintah daerah sudah mulai melonggarkan PSBB.
Di samping itu, tingkat penyerapan anggaran penangangan Covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang masih rendah juga mengindikasikan bahwa pemerintah perlu mempercepat realisasi penyaluran jaring pengaman sosial, berupa bantuan tunai dan bansos lainnya.
Hal ini guna mendongkrak daya beli masyarakat sehingga dapat mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Josua beranggapan, monetisasi utang yang disepakati oleh Bank Indonesia dan pemerintah melalui skema burden sharing juga belum akan berdampak banyak pada inflasi tahun ini mengingat sisi permintaan yang masih lemah, terindikasi dari konsumsi rumah tangga dan investasi yang belum akan pulih.
"Sejalan dengan ekspektasi pemulihan ekonomi nasional yang diperkirakan akan mulai terjadi pada kuartal IV /2020, artinya aktivitas ekonomi akan mulai membaik gradual dan lebih signifikan pada tahun depan, sehingga akan terjadi peningkatan peredaran uang yang mendorong pada potensi peningkatan inflasi pada tahun 2021," jelasnya.
Sementara itu, menurut Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis (IKS) Eric Alexander Sugandi, inflasi pada akhir tahun bisa mencapai kisaran 2-4 persen, masih dalam rentang target BI.
Menurutnya, jika injeksi uang melalui skema burden sharing meningkat signifikan, disertai dengan percepatan belanja pemerintah, maka ada peluang inflasi akan meningkat di akhir tahun.
"Sampai akhir tahun masih ada peluang deflasi atau inflasi rendah kecuali jika ada injeksi uang dalam jumlah besar dari program burden sharing BI dan pemerintah," jelasnya.
Eric menambahkan, jika injeksi uang oleh BI moderat, maka inflasi pada akhir tahun diperkirakan akan sebesar 3 persen.
Jika injeksi uang oleh BI lebih kecil, maka inflasi berpotensi berada di bawah level 3 persen, namun tetap berkisar antara 2 hingga 4 persen.
Dalam statemen resminya, BI menegaskan pihaknya masih menargetkan inflasi tahun ini berada dalam kisaran 2-4 persen. BI bertekad terus konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk mengendalikan inflasi tetap rendah.