Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Resesi Kala Pandemi Covid-19 dan Krisis Keuangan 1998, Mana yang Lebih Parah?

Ekonom senior INDEF Faisal Basri kondisi ekonomi Indonesia pada periode 1997-1998 sangat berat. Situasi tersebut dipicu krisis keuangan atau finansial Asia yang merembet ke Indonesia. Bagaimana dengan krisis yang terjadi saat pandemi Covid-19?
Suasana lengang terlihat di salah satu pusat perbelanjaan usai adanya anjuran untuk menjaga jarak sosial dan beraktivitas dari rumah untuk mencegah penyebaran virus corona di Jakarta, Senin (23/3/2020). Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) juga memprediksi penurunan penjualan ritel kuartal pertama 2020 turun hingga 0,4 persen dibanding dengan kuartal pertama tahun lalu. Bisnis/Nurul Hidayat
Suasana lengang terlihat di salah satu pusat perbelanjaan usai adanya anjuran untuk menjaga jarak sosial dan beraktivitas dari rumah untuk mencegah penyebaran virus corona di Jakarta, Senin (23/3/2020). Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) juga memprediksi penurunan penjualan ritel kuartal pertama 2020 turun hingga 0,4 persen dibanding dengan kuartal pertama tahun lalu. Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom senior INDEF Faisal Basri mengungkapkan Indonesia sulit mengelak dari kondisi resesi akibat pandemi virus Corona (Covid-19).

Dia bahkan mengatakan ada beberapa kalangan yang mengaitkan resesi yang bakal terjadi dengan krisis keuangan yang sempat dialami Indonesia pada periode 1997-1998.

"Bagi sebagian kalangan, resesi ibarat hantu yang siap bergentayangan. Bahkan ada yang mengaitkan hantu resesi dengan krisis ekonomi 1998. Lebih dramatis lagi katanya bakal ada penjarahan. Apakah benar demikian?" katanya saat berbicara di channel Youtube Cokro TV dengan tema "Indonesia Di Ambang Resesi", seperti dikutip Kamis (30/7/2020).

Faisal menuturkan kondisi ekonomi Indonesia pada periode 1997-1998 sangat berat. Situasi tersebut dipicu krisis keuangan atau finansial Asia yang merembet ke Indonesia.

Krisis ekonomi 1998 ditandai dengan jatuhnya harga komoditas, konsumen tak mampu membayar utang, lembaga keuangan mengalami kekeringan likuiditas, dan terjadi penarikan dana masyarakat secara besar-besaran di bank sehingga sektor perbankan hancur (collapse).

Bukan itu saja, kondisi yang parah juga terjadi di pasar saham dan diperparah dengan anjloknya nilai tukar rupiah.

"Pasar saham crash atau nyungsep kalo kata orang Betawi. Nilai tukar rupiah melorot karena masyarakat tidak percaya dengan mata uangnya sendiri," jelasnya.

Lantas, apakah kondisi resesi yang dipredisi bakal terjadi akan separah krisis 1998? Faisal mencoba mengulas konsep resesi berdasarkan teori ekonomi. Menurutnya, hal itu tak terlepas dari siklus bisnis atau business cycle.

Artinya, perekonomian selalu bergerak dari puncak lalu turun ke palung atau titik terendah. Penurunan tersebut disebut resesi. Faisal menegaskan yang turun adalah pengeluaran (output) bukan pertumbuhan.

"Kita jangan bicara pertumbuhan mengalami penurunan dua triwulan berturut-turut dulu. Itu pemahaman umum yang tidak dilandasi teori kuat, walaupun tidak salah," ungkapnya.

Lebih lanjut, katanya, ekonomi dari titik terendah akan bergerak naik. Kondisi tersebut disebut fase pemulihan. Setelah mencapai puncak, ekonomi pasti akan mengalami penurunan.

Dia mengungkapkan periode dari peak menuju through disebut resesi. Secara garis besar, aktivtas ekonomi mengalami kemerosotan yang ditunjukkan oleh penurunan produk domestik bruto (PDB) riil. Indikator yang dilihat bukan semata-mata dari pertumbuhan.

"Saya coba analogikan dengan kue, kalau resesi kue tidak utuh lagi bulat, tetapi ada yang hilang dipotong. Kalau hilang 5 persen disebut resesi. Namun, jika kue yang hilang ebih dari dari 10 persen maka disebut resesi berat atau depresi," jelasnya.

Faisal menuturkan Indonesia mungkin akan mengalami resesi ringan. Hal itu sesuai dengan prediksi lembaga keuangan internasional terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai informasi, Asian Development Bank (ADB) meramal ekonomi RI di masa pandemi mengalami kontraksi atau -1 persen.

Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan perekonomian Indonesia -0,3 persen. Di sisi lain, OECD memprediksi ekonomi Indonesia bisa minus hingga 3,9 persen dengan catatan skenario sangat buruk.

"Kalau Bank Dunia bilang ekonomi kita 0 persen. Artinya, ekonomi enggak bergerak, segitu-gitu saja. Mau tidak mau kita harus siap menghadapi resesi mild, resesi ringan," kata Faisal Basri.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper