Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengusulkan dan masih mengkaji dua skema insentif penerbangan guna menekan biaya rapid test atau tes cepat, sehingga bisa meningkatkan pergerakan masyarakat menggunakan transportasi udara.
Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Novie Riyanto mengatakan pertama, usulan subsidi dari pemerintah dalam membiayai rapid test bagi penumpang, tetapi konsekuensinya adalah menggunakan APBN. Usulan ini masih dikaji karena harus melihat kondisi keuangan pemerintah saat ini melalui Kementerian Keuangan.
Kedua, kata Novie, mendorong penyedia jasa layanan kesehatan untuk menggunakan produksi alat rapid test dalam negeri. Produksinya rata-rata sudah mulai dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Selain juga usulan membiayai rapid test, yang lainnya juga mendorong itu bisa digunakan menggunakan produksi nasional. Produksi dalam negeri ini kan bisa hanya Rp75.000 saja,” jelasnya, Selasa (28/7/2020).
Sebelumnya, Kemenhub telah mengajukan permintaan kepada Kementerian Keuangan agar bisa memberikan subsidi rapid test bagi masyarakat yang bepergian menggunakan transportasi publik.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan dokumen kesehatan yang mahal menjadi hal yang disoroti berbagai pihak, utamanya calon penumpang. Adapun, segala bentuk protokol dan prosedur kesehatan menjadi tanggung jawab gugus tugas penanganan Covid-19.
Baca Juga
Namun pihaknya tetap memberikan sejumlah masukan untuk mempermudah aktivitas bepergian.
"Kami juga minta ke Kementerian Keuangan agar rapid test ini diberikan subsidi bagi mereka yang akan berjalan," jelasnya.
Budi juga telah mengupayakan agar operator penerbangan bisa menetapkan secara mandiri mitra yang dapat memfasilitasi rapid test atau tes cepat dengan tarif yang lebih terjangkau.
Pasalnya, Budi menuturkan berdasarkan hasil kunjungannya di Bandara Solo dan Yogyakarta biaya rapid test cukup beragam dimulai dari rentang Rp100.000 hingga Rp300.000. Dengan demikian, sebetulnya tarif rapid test bisa disediakan dengan lebih murah.