Bisnis.com, JAKARTA – Pemangku kepentingan dalam industri farmasi nasional mulai serius membangun industri bahan baku obat (BBO). Hal tersebut terlihat dari rencana masing-masing pabrikan dalam mengembangkan BBO secara mandiri maupun patungan.
PT Kalbe Farma Tbk. telah memiliki fasilitas produksi BBO berbasis biologi untuk obat yang dapat digunakan saat kemoterapi maupun cuci darah.
Namun demikian, perseroan menyatakan belum dapat menghitung kontribusi fasilitas tersebut dan fasilitas lainnya di masa depan terhadap neraca industri farmasi.
"Dalam perencanaan sudah ada sekitar 8-10 produk yang sedang disiapkan fasilitas produksinya dalam 3-5 tahun mendatang. [Kontribusi pabrik BBO perseroan] belum bisa diperkirakan karena rencana jangka panjang masih bisa berubah dan perlu data yang lebih detil soal angka impor BBO nasional," ujar Presiden DIrektur Kalbe Farma Vidjongtius kepada Bisnis, Senin (27/6/2020).
Sebelumnya, Kalbe Farma telah mengoperasikan pabrikan BBO di Cikarang sejak 2018. Adapun, pabrikan tersebut telah dibangun sejak 2015 dengan dana dari arus kas perseroan.
Sementara itu, Kalbe Farma juga memiliki fasilitas penelitian dan pengembangan hasil patungan (joint venture/JV) dengan perusahaan farmasi asal Korea Selatan, Genexine. Adapun, Kalbe Farma berkontribusi hingga 60 persen dari dana yang disuntikkan dalam fasilitas tersebut.
Baca Juga
Walaupun baru digunakan untuk obat saat kemoterapi dan cuci darah, Vidjongtius menyampaikan BBO perseroan saat ini juga dapat digunakan untuk membuat obat generik. Vidjontius mengatakan pihaknya akan fokus mengembangkan BBO berasis biologi
Selain itu, lanjutnya, tujuan pengembangan fasilitas produksi BBO perseroan adalah pengurangan volume dan devisa impor BBO nasional. Menurutnya, pengurangan devisa dan volume impor BBO secara signifikan tidak dapat dilaukan oleh Kalbe Farma sendiri.
"Karena ada ribuan item impor BBO. Namun, kalau seluruh industri farmasi berupaya bersama-sama, dampaknya akan lebih signfikan," ucapnya.
Kementerian Perindustrian pada akhir kuartal I/2020 menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 16/2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perhitungan Nilai TKDN Produk Farmasi. Adapun, perhitungan TKDN tersebut secara kasat mata berbasis produksi.
Dengan kata lain, asal tenaga kerja, permesinan dan asal material memiliki peranan lebih tinggi dibandingkan nilai investasi.
Adapun, beleid tersebut mengatur bahwa kandungan bahan baku emmiliki bobot 50 persen, penelitian dan pengembantan sebsar 30 persen, produksi sebesar 15 persen, dan pengemasan 5 persen.
Terpisah, Direktur Utama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Verdi Budidarmo berujar pihaknya masih mengimpor sebanyak 95 persen dari total kebutuhan bahan baku obat (BBO) dari China dan India. Namun demikian, lanjutnya, ketergantungan BBO tersebut akan mulai berkurang dari tahun ini.
Verdi menyatakan pihaknya telah mendirikan anak usaha patungan (joint venture/JV) dengan pabrikan farmasi asal Korea Selatan, yakni Sungwun Pharmacopia, Co., Ltd. pada awal 2016. Pendirian pabrikan tersebut baru rampung pada tahun ini.
Menurutnya, beroperasinya PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia akan mengurangi ketergantungan impor BBO perseroan sebesar 3 persen pada tahun ini. Namun demikian, lanjutnya, pengurangan angka ketergantungan tersebut akan terus meningkat seiring berjalannya waktu.
"Kami menargetkan pada 2024 kami akan menurunkan [impor BBO] sebesar 20 persen," katanya.
Plt. Direktur Industri Kimia Hilir dan Farmasi Kemenperin Adi Rochmanto menyatakan akan menyelenggarakan program link and match antara peneliti dan industriawan untuk menggenjot ketersediaan BBO nasional.
Menurutnya, hal tersebut diperlukan agar industri farmasi nasional tidak ketergantungan bahan baku jika pandemik kembali menyerang.
"Kita memiliki bahan baku hayati asli Indonesia sekitar 30.000 jenis. [Namun,] yang menjadi [bahan baku] fitofarmaka 60 jenis, sedangkan baru 300 jenis yang sudah menjadi [BBO} herbal. Dalam 10 tahun ke depan, diprediksikan kita akan positif 70-80 persen [BBO yang diproduksi di dalam negeri]," katanya kepada Bisnis.