Bisnis.com, JAKARTA -- Pemanfaatan skema imbal dagang kembali mengemuka, usai pasang surut selama beberapa tahun terakhir.
Lama tak dilirik, metode perdagangan ini dianggap sebagai peluang untuk memperbaiki kinerja dagang di tengah tantangan pandemi Covid-19.
Imbal dagang alias barter adalah bentuk transaksi tertua yang dipraktikkan manusia untuk berbisnis. Metode ini dipakai untuk mengurai hambatan ekspor, memperluas penetrasi pasar, dan menjaga neraca dagang.
Dalam konstelasi perdagangan internasional, Indonesia pernah mendapat tawaran Thailand untuk menukar 110.000 ton beras ketan dengan dua unit pesawat buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara pada 1996 silam. Seiring berjalannya waktu, imbal dagang lebih banyak dipakai untuk transaksi pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) maupun transfer teknologi.
Salah satu yang kerap dibicarakan adalah rencana barter antara Indonesia-Rusia untuk pembelian 11 unit pesawat Sukhoi senilai US$1,14 miliar pada 2017. Sebagai ganti pembelian itu, Rusia diharapkan dapat mengimpor sejumlah komoditas unggulan Indonesia seperti minyak sawit (CPO), karet, produk tekstil, kakao, furnitur, dan ikan olahan dengan nilai US$570 juta atau separuh dari harga armada militer dari Rusia.
Namun, sebagaimana barter pesawat dan beras ketan dengan Thailand, nasib rencana barter tak kunjung memperlihatkan kemajuan.
Baca Juga
Kabar terbaru hanya muncul dari pembicaraan antara Menteri Perdagangan Agus Suparmanto dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto soal daftar komoditas Indonesia yang potensial untuk ditawarkan dalam skema imbal dagang. Siapa mitra dagang yang disasar? Tak disebutkan.
Rekam jejak imbal dagang Indonesia yang berbuah nihil lantas menimbulkan pertanyaan mengenai efisiensi skema tersebut dan imbasnya terhadap kinerja ekspor Indonesia.
Mekanisme dagang dengan imbal beli sejatinya potensial karena dapat mendukung penghematan devisa di tengah pandemi menurut Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani. Cara barter barang disebutnya bisa membantu kestabilan nilai rupiah tanpa mengorbankan kinerja perdagangan nasional.
“Ini bisa signifikan membantu ekonomi nasional bila volume perdagangannya besar,” ujarnya, Selasa (21/7/2020).
Sayangnya, pengalaman memperlihatkan bahwa perdagangan dengan mekanisme imbal dagang kerap tak diikuti dengan volume yang besar. Shinta mengemukakan hal ini turut disebabkan oleh prosedur rumit yang mengiringi prosesnya karena melibatkan negosiasi level pemerintah dan tersentralisasi pada produk yang diproduksi perusahaan milik negara
Dia pun menjelaskan bahwa pelaku usaha bakal sulit berpartisipasi karena perdagangan melalui mekanisme imbal dagang menempatkan pemerintah sebagai pihak ketiga antara eksportir dan buyer di luar negeri. Dengan demikian, rantai perdagangan pun semakin panjang dan banyak pertimbangan lain yang harus diperhitungkan pelaku usaha.
“Banyak hal yang perlu diperhitungkan dan diurus eksportir bila mau berdagang dengan mekanisme imbal beli seperti kejelasan mekanisme transfer finansialnya, siapa mitra dagangnya dan berapa kuota dagang yang bisa dimanfaatkan,” lanjut Shinta.
Menurut Shinta, imbal dagang bisa saja memberi manfaat bagi kinerja perdagangan nasional. Hanya saja, dia menyarankan agar pelaksanaannya lebih transparan dan terbuka bagi seluruh pelaku usaha, serta tidak langsung melalui BUMN namun difasilitasi pemerintah sebagai pemilik dan regulator kuota.
Selain itu, dia pun menyarankan agar mekanisme ini diuji coba dahulu dalam skala kecil untuk disempurnakan lebih lanjut. Jika berhasil, pelaku usaha berpotensi memperbesar volume transaksi dan memperbanyak mitra di masa mendatang.
Terlepas dari berbagai harapan akan dampak positif imbal dagang, Kepala Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai peluang ekonomi dalam mekanisme ini sejatinya tidaklah terlalu tinggi. Dalam prosesnya, berbagai kendala kerap menghadang aksi barter, termasuk hambatan waktu yang cenderung lama.
“Secara ekonomi imbal dagang tidak bisa menjadi andalan. Bagaimanapun pasar internasional sudah memberi banyak fasilitas dan kemudahan bagi negara untuk memperoleh kebutuhannya. Sejak zaman Soeharto imbal dagang tidak berhasil terealisasi,” ujar Yose kala dihubungi.