Bisnis.com, JAKARTA – Industriwan tekstil mengeluhkan dominasi produk tekstil impor di tengah tekanan pandemi virus corona atau Covid-19.
Industriwan lokal menuding produk impor semakin melenggang menguasai pasar. Pengawasan dan regulasi yang setengah hati dinilai jadi penyebab utamanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Wirawasta menyatakan oknum importir tekstil punya cara bermain yang baru, selain cara-cara lama yang masih digunakan.
Setidaknya ada tiga praktik yang kini digunakan oleh oknum importir untuk yang membuat angka impor masih tinggi, yakni pelarian pos tarif, praktik undervolume, dan praktik impor borongan.
"Kami melihat banyak yang lari [angka] HS [Harmonized System/Pos Tarif]," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (19/7/2020).
Di sisi lain, pihaknya mengaku, peningkatan permintaan konsumen tekstil dan produk tekstil (TPT) sudah mulai bergerak. Hanya saja, pergerakan tersebut baru dinikmati oleh industri hilir TPT.
Baca Juga
Menurut APSyFI, volume impor tekstil pada semester I/2020 belum berkurang secara signifikan. Hanya saja, berdasarkan data BPS, volume impor TPT sepanjang semester I/2020 bakal terpangkas dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendata pada Januari-Mei 2020 hampir seluruh volume impor produk TPT turun rata-rata 17,47 persen secara tahunan. Adapun, pada periode tersebut hanya produk benang yang mencatatkan pertumbuhan volume impor sebesar 1.02 persen menjadi 52.504 ton.
Redma berujar pihaknya telah mengajukan agar penambahan bea masuk tersebut dikenakan pada pos tarif dengan empat digit. Artinya, cakupan produk yang mendapatkan bea masuk akan lebih luas.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan telah menambah bea masuk pada 121 pos tarif delapan digit produk tekstil. Dengan kata lain, produk yang dikenakan bea masuk sangat spesifik.
Di samping itu, lanjutnya, penambahan bea masuk untuk produk garmen dilakukan pada pos tarif dua digit.
Pihaknya menilai hal tersebut seharusnya dilakukan lantaran pabrikan hilir TPT nasional sudah dapat memproduksi segala jenis garmen, sedangkan produsen kain masih belum dapat memroduksi seluruh jenis kain.
Terpisah, Sekretaris Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat Kevin Hartanto mendata saat ini pabrikan tekstil yang masih berproduksi hanya memiliki utilitas sekitar 20-30 persen. Pasalnya, lanjutnya, pasar domestik saat ini masih dipenuhi kain impor.
"Utilitas pabrikan saat ini sangat tidak sehat, tapi terpaksa dilakukan untuk bisa bernaas agar masuk 2021 kondisi [permintaan nasional] sudah membaik," katanya.
Bagi pengusaha tekstil, misi utamanya adalah bertahan hidup melewati 2020. Saat ini, menurutnya, semua pabrikan TPT ikut terpapar Covid-19 , bahkan sudah ada yang kritis.
Industriwan berharap pemerintah menjaga pasar domestik TPT dari produk impor. Dengan kata lain, ujar Kevin, pemerintah harus menyadari prioritas utama saat ini adalah insentif untk menjaga pasar, bukan insentif perpajakan.
"Kalau insentif perpajakan seperti ini [diterbitkan], tapi bisnisnya sudah terburu 'stres', itu [insentif [perpajakan] tidak berarti apa-apa," ucapnya.