Awalnya, mengelola hutan diremehkan karena dianggap hanya mengurus hasil kayunya. Orang banyak yang tidak peduli. Namun, likuidnya kayu alam menjadi uang yang melimpah menumbuhkan ketamakan berjemaah. Ini membuat teknik penebangan lestari Tebang Pilih Indonesia/Tebang Pilih Tanam Indonesia diabaikan. Hutan pun rusak parah.
Deforestasi terbesar selama periode perizinan pembukaan konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) terjadi pada 1997-2000 menunjukkan rata-rata 2,83 juta hektare per tahun. Plus hilangnya tegakan di luar kawasan sebesar 0,68 juta hektare per tahun, maka angka deforestasi seluruhnya mencapai 3,51 juta hektare per tahun.
Konon sempat dinyatakan sebagai deforestasi terbesar di dunia. Yang juga dipicu adanya kebakaran besar hutan 1997/1998 seluas 9,7 juta hektare (Bappenas, 2000), oleh proses otonomi daerah, serta penebangan liar yang mencapai 40 juta-an meter kubik per tahun.
Setelah hutan rusak, berbagai fungsi hutan khususnya fungsi lindung dan fungsi konservasi alam hayati tidak berjalan. Bencana muncul membawa kerusakan alam lingkungan dan penderitaan masyarakat. Baru disadari nilai kayu tersebut ternyata sangat kecil, sekitar 5% -7% dari nilai sumber daya hutan sebagai ekosistem yang lebih dari 90%. Biodiversitas hutan banyak yang terlanjur musnah terkubur atau terbakar.
Sumber daya hutan sangat penting. Pengelolaan hutan tidak bisa dilakukan sendirian, harus dalam pola kebersamaan. Semua pihak harus mendukung pihak kehutanan, agar fungsi hutan maksimal.
Hutan Indonesia memang masih tetap luas. Setelah kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) akibat terbitnya UU Penataan Ruang Nomor 24 Tahun 1992, dan perkembangan pembangunan, luas hutan Indonesia yang awalnya sekitar 144,3 juta hektare (Tata Guna Hutan Kesepakatan, 1984) menyusut menjadi 120,35 juta hektare. Luas kawasan hutan kini sebesar 64,11% dari luas daratan Indonesia yang 187,7 juta hektare.
Di samping kekayaan kayunya, kawasan hutan Indonesia tercatat pernah memiliki kekayaan mega-biodiversitas berupa 27.500 spesies tumbuhan berbunga, 1.539 spesies reptilia dan amfibi, 12% mamalia dunia, 25% jenis ikan dunia dan 17% jenis burung dunia sebagai cagar plasma nutfah dunia. Sebagian di antaranya punah, dan yang tersisa perlu ditata lagi.
Tata ruang merupakan kelemahan pemerintah dalam merawat alam dan mengendalikan bencana lingkungan. Memisahkan tata ruang kawasan hutan dan ruang daratan nonhutan adalah dosa besar. Apalagi pengelola hutan negeri ini belum juga ‘bangun dari mimpi’ untuk cepat-cepat memperbaiki SK Menteri Pertanian Nomor 837 Tahun 1980 terkait penetapan hutan lindung, dengan menetapkan aturan yang terkini menggunakan variabel yang lebih lengkap dan teknologi mutakhir.
Tata ruang bukanlah sebuah proses membagi-bagi lahan sesuai kebutuhan dan ruang yang ada. Namun, merupakan kegiatan penyelamatan kemungkinan terjadinya bencana alam maupun ancaman terhadap biodiversitas hayati, konservasi budaya, bentukan alam raya, plasma nutfah yang harus dipertahankan keberadaannya.
Aktivitas kehutanan
Selain masalah tata ruang yang menjadi sentral keterkaitan berbagai kegiatan pengelolaan hutan, setiap sektor memiliki hubungan kegiatan yang memperkuat pengelolaan hutan dan kehutanan. Hutan sebagai sumber daya menyiapkan segala penunjang aktivitas kehidupan dan pembangunan sesuai fungsinya: lindung, ekonomi dan sosial yang sangat diperlukan masyarakat dan pembangunan bangsa.
Luasnya lahan hutan yang lebih dari separuh luas daratan negara diperlukan masyarakat untuk berbagai kegiatan. Antara lain untuk sumber pangan, sumber penghidupan, kesehatan/medis, bahan bangunan, industri, pendidikan, rekreasi, beribadah, budaya, perlindungan alami, mengendalikan pemanasan global, sampai pertahanan negara.
Sangat sulit memilah sendi-sendi kehidupan yang tidak berkaitan dengan hutan dan sumber daya hutan beserta ekosistemnya. Salah satu yang terpenting kebutuhan oksigen dan udara bersih, serta media regenerasi biota. Harus dilakukan kolaborasi, networking at equal level and involving parties (Untung Iskandar, 2020).
Sehingga tidak keliru bila setiap sektor pembangunan, ataupun institusi pemerintah di dalam menyusun kegiatan selalu disisipkan aktivitas yang akan memperkuat peran sektor kehutanan sebagai ekosistem, inti lingkungan hidup. Menurut Prof. Emil Salim (7 Juli 2020), kolaborasi agar menghindari kerangka hukum omnibus law yang cenderung mengutamakan kelancaran investasi.
Integritas pengelolaan hutan harus dilakukan. Kepedulian masyarakat dibangun agar setiap orang dengan lembaga apapun memperlakukan hutan dengan hati bersih, tanpa kecurangan (no cheating). Memang tidak mudah, tapi harus bisa, apabila pemimpin dan bangsa ini mau bertekad tanpa ragu.