Bisnis.com, JAKARTA – PT Hutama Karya (Persero) menjelaskan pemerintah masih memiliki utang sebesar Rp1,88 triliun kepada perseroan yang belum dibayar sejak 2016. Perseroan juga menanggung selisih beban bunga dari pinjaman yang digunakan untuk pembebasan lahan.
Direktur Utama Hutama Karya Budi Harto menjelaskan tagihan kepada pemerintah itu berasal dari pembebasan lahan senilai Rp8,01 triliun sejak 2016 hingga pertengahan Juni 2020.
Dari jumlah itu pemerintah telah membayarkan Rp6,13 triliun sehingga, outstanding total utang pemerintah kepada Hutama Karya kini tercatat senilai Rp1,88 triliun.
“Ini adalah pengeluaran dana talangan sejak 2016—2020, jadi sudah ulang tahun ke-lima,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, di Jakarta, Rabu (1/7/2020).
Tagihan dana talangan tanah (DTT) sebesar Rp1,88 triliun ini terdiri dari dana senilai Rp1,38 triliun yang masih diproses oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta Rp495 miliar dana yang sudah terverifikasi namun belum dibayarkan pemerintah.
Di luar outstanding utang tersebut, perseroan juga menanggung beban keuangan sebesar 8,75 persen per tahun dari pinjaman senilai Rp959 miliar yang digunakan untuk dana talangan tanah.
Baca Juga
Dari jumlah tersebut, perseroan mendapatkan kompensasi dari pemerintah sebesar Rp466 miliar. Dengan demikian, perseroan menanggung selisih beban keuangan sebesar Rp493 miliar.
“Sampai saat ini, tapi kami hanya mendapatkan ganti Rp 466 miliar. Jadi kami tekor 493 miliar,” tuturnya.
Dia mengharapkan Perpres No. 66/2020 tentang Pendanaan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Umum untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) dapat segera efektif.
Menurutnya apabila peraturan tersebut sudah diberlakukan secara efektif maka Hutama Karya dapat menerima penggantian dana talangan sebagaimana mestinya.
Menurutnya, meski Prepres ini telah diterbitkan, penerapannya masih membutuhkan petunjuk teknis lewat Peraturan Menteri Keuangan. Alhasil, perseroan masih perlu menunggu proses verifikasi dari Kementerian Keuangan.
“Jadi dari [outstanding] Rp1,8 triliun yang berada di kami, ini sebenarnya sebesar Rp6,6 triliun sudah eligible, oleh BPKP sudah dibayar Rp6,1 triliun, tapi belum dibayar Rp495 miliar. Walaupun sudah eligible oleh BPKP tapi belum dibayar Rp495 miliar,” ujarnya.